TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Bagaimana Media Sosial Bisa Memengaruhi Kesehatan Mental Remaja?

Jangan biarkan media sosial merusak kesehatan mental anak remaja mama ya!

Freepik

Bukan rahasia umum lagi jika media sosial merupakan bahan pokok dari cara sosialisasi dan komunitas remaja.

Media sosial tak hanya membantu remaja yang kesulitan dengan interaksi tatap muka atau kecemasan sosial untuk membantu membangun keterampilan komunikasi dan sosialisasi, tetapi juga dapat membantu remaja membentuk persahabatan, bertukar pikiran, dan memberikan dukungan emosional.

Di balik manfaat tersebut, media sosial dapat memiliki konsekuensi negatif pada kesehatan mental remaja.

Lantas bagaimana media sosial memengaruhi kesehatan mental anak? Untuk mengetahuinya, yuk simak informasinya yang telah Popmama.com rangkum di bawah ini!

1. Membentuk identitas palsu dan selalu membandingkan diri sendiri dan orang lain

Freepik

Ketika memasuki masa remaja, tingkat penerimaan seorang anak dengan teman sebaya sangat tinggi untuk mengembangkan harga dirinya.

Dilansir dari Child Mind Institute, anak pra-remaja dan remaja memiliki risiko lebih tinggi terkena Imposter Syndrome yang merupakan 'identitas palsu', di media sosial, dan ini dapat merusak kesehatan mental anak.

Anak dengan impostor syndrome ini berjuang untuk menunjukkan siapa diri sebenarnya, namun dengan gambaran yang disaring tentang bagaimana seharusnya ia menggambarkan dirinya sendiri secara online.

Ketika remaja lebih berfokus pada berapa banyak 'suka' yang ia terima, ia cenderung menilai bagaimana hasil selfie-nya dan terus-menerus membandingkan diri dengan teman sebaya. Dilansir dari Pewinternet, 24 persen remaja yang melihat aspek media sosial ini memiliki efek negatif.

2. Kurangnya berkomunikasi secara langsung

Freepik/romeo22

Media sosial adalah situs web dan aplikasi yang dimaksudkan untuk menghubungkan kita secara virtual atau tidak langsung ke jejaring sosial, untuk berbagi dan bertukar informasi dan pengetahuan, dan menghubungkan kita dengan keluarga dan teman sebagai bentuk ekspresi komunikatif dan sosial.

Namun, dengan meningkatnya penggunaan media sosial, interaksi tatap muka justru jadi berkurang sehingga menciptakan asosiasi dengan fungsi psikologis yang lebih buruk.

Dengan koneksi manusia yang kurang, akan menjadi lebih sulit untuk membangun keterampilan empati dan kasih sayang yang diperlukan untuk membentuk dan memelihara hubungan yang bermakna.

Terlalu banyak waktu bermain media sosial juga dapat memengaruhi kemampuan remaja dalam komunikasi lisan dan verbal, serta komunikasi non-verbal seperti membaca isyarat bahasa tubuh.

Meskipun anak mungkin tak perlu menguasai keterampilan ini untuk berinteraksi tatap muka, mempelajari cara menggunakannya dapat memainkan peran besar dalam komunikasi yang efektif dalam hubungan apapun.

3. Kurangnya motivasi untuk berusaha lebih

Freepik/Wirestock

Remaja umumnya dikenal dengan motivasinya yang tinggi, namun, karena lonjakan penggunaan media sosial di kalangan remaja, ini bisa membuat mereka menjadi tidak termotivasi lagi, karena kepuasan instan yang telah mereka dapatkan secara online.

Dilansir dari Psychology Today, sebuah Teori Hierarki Kebutuhan dari psikolog Dr.Maslow, manusia memiliki dua jenis kebutuhan: kebutuhan yang tidak kita miliki dan kebutuhan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan.

Orang memiliki tiga klasifikasi kebutuhan, seperti dasar, psikologis, dan pemenuhan diri.

Teori tersebut menunjukkan bahwa ketika seseorang tidak lagi kekurangan sebagai kebutuhan, seperti pemenuhan diri melalui kepuasan instan, maka ia tidak akan lagi termotivasi untuk berusaha lebih.

4. Membuat remaja merasa tidak mampu

Freepik/Oneinchpunch

Sebuah studi dalam Journal of Social and Clinical Psychology di tahun 2014 menunjukkan bahwa hubungan antara pengguna Facebook (dari kedua jenis kelamin) dengan gejala depresi.

Dalam survei yang dilakukan, di mana 50 persen pengguna mengaku 'merasa lebih buruk' setelah menghabiskan waktu di media sosial.

Perbandingan sosial dan evaluasi diri yang negatif ini dapat mengurangi perasaan pencapaian seorang remaja, karena melihat pencitraan media yang salah.

Remaja mungkin selalu melihat pencapaian atau kehidupan megah teman-teman sebayanya secara online, dan membandingkan dengan kehidupannya sendiri.

Media sosial yang menjadi wadah untuk menunjukkan pentingnya kepercayaan diri dan harga diri, seringkali ini dapat dengan cepat membuat remaja dan siapa pun merasa tidak mampu atau kekurangan dalam hal apapun.

5. Siklus tidur menjadi lebih terganggu

Freepik

Dilansir dari National Sleep Foundation menemukan bahwa 95 persen orang Amerika menggunakan beberapa bentuk teknologi sebelum tidur, terutama remaja dan dewasa muda, mengalami gangguan pada siklus tidurnya.

Ini adalah statistik yang mengkhawatirkan, karena ketika anak-anak dan remaja memiliki waktu tidur yang kurang, mereka berisiko memiliki efek serius pada kesehatan mental, fisik, dan emosionalnya.

Menurut American Medical Association, selain stimulasi yang kuat untuk scrolling media sosial sebelum tidur pada tubuh yang mencoba untuk beristirahat, cahaya dari layar juga dapat mengurangi kadar melatonin, yang dapat mengganggu jam biologis remaja untuk tidur.

Dan sayangnya, kurang tidur dapat membatasi fungsi tubuh, tingkat energi, dan kinerja akademik, hingga meningkatkan kemungkinan depresi dan kecemasan pada remaja.

6. Perubahan perilaku menjadi lebih negatif

Freepik/peoplecreations

Seperti yang dijelaskan di atas, media sosial dapat menciptakan perasaan tidak berharga, harga diri yang buruk, dan mengganggu siklus tidur remaja. Dan ini dapat berujung pada menciptakan perasaan gelisah, cemas, dan lekas marah pada anak remaja.

Menurut American Academy of Pediatrics memperingatkan bahwa remaja yang terlalu sering menggunakan media online berisiko mengembangkan  Problematic Internet Use (Penggunaan Internet Bermasalah) atau yang kita kenal sebagai Ketergantungan Internet.

Seperti yang dijelaskan dalam Manual Statistik Diagnostik 5, penggunaan Internet yang bermasalah dapat menyebabkan gejala depresi, kecemasan, disosiasi atau terputusnya minat pada 'dunia nyata'.

AAP juga memperingatkan orangtua tentang paparan alkohol, narkoba, penggunaan tembakau, perilaku seksual, melukai diri sendiri, dan gangguan makan online yang dinormalisasi melalui situs jejaring sosial.

7. Kinerja akademis yang lebih buruk

Freepik.com/photoroyalty

Tak perlu dikatakan bahwa ketika seorang remaja terus-menerus merasa putus asa, lelah, kewalahan, dan putus asa, ini membuat belajar yang sudah sulit menjadi lebih sulit.

Sebuah penelitian juga menunjukkan hal serupa, bahwa remaja yang terlalu sering menggunakan media sosial dapat mengalami kesulitan secara akademis.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh University of Nebraska, 38 persen responden mengaku kecanduan media sosial, dan 51,7 persen mengungkapkan bahwa media sosial telah mengalihkan perhatian mereka dari studi dan memengaruhi kinerja akademik mereka.

Meskipun teknologi bisa sangat menguntungkan untuk tujuan akademis seperti meneliti dan bertukar informasi, ini juga harus digunakan dalam jumlah sedang dan dalam kontrol yang nyata.

8. Mengalami cyberbullying

Freepik

Mama mungkin sudah tak heran lagi dengan dampak yang satu ini bukan? Tak hanya orang dewasa, banyak remaja yang juga mengalami cyberbullying di media sosial.

Meski media sosial menjadi sarana komunikasi yang dapat diakses dan disukai di kalangan remaja, lebih dari separuh responden remaja dalam survei yang dilakukan oleh Cyberbullying Research Centre atau Pusat Penelitian Cyberbullying melaporkan pernah mengalami cyberbullying.

Bahkan 10-20 persen dari mereka mengalaminya secara teratur.

Meskipun membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek jangka panjang dari cyberbullying pada anak-anak dan remaja, para ahli mengatakan bahwa remaja yang telah mengalami cyberbullying atau menjadi pelakunya, berada pada risiko yang lebih besar pada penyakit mental seperti depresi, kecemasan, stres terkait lainnya. gangguan, dan pikiran/usaha bunuh diri.

9. Perasaan terisolasi

Freepik

Memiliki banyak teman di media sosial justru juga bisa menimbulkan pernyataan yang kontradiktif, di mana 'media sosial menyebabkan isolasi'. Hal ini karena para peneliti telah menemukan bahwa remaja yang menggunakan media sosial secara berlebihan, tiga kali lebih mungkin untuk merasa terisolasi.

Ini bisa disebabkan oleh perasaan ditinggalkan oleh teman sebaya, kepercayaan diri yang rendah untuk mengambil bagian dalam lingkungan sosial, atau pertukaran interaksi tatap muka yang diperlukan untuk menciptakan hubungan yang bermakna.

Menurut sebuah studi dalam Journal of Creative Communications di tahun 2017, banyak pengguna menggunakan media sosial sebagai bentuk pelarian dari kenyataan ketika menghadapi stresor sosial atau tidak nyaman.

Hal ini justru dapat menambah perasaan terisolasi ketika remaja tidak memiliki keterampilan koping yang sehat. Penelitian tersebut juga menunjukkan perasaan kesepian dan isolasi berdampak negatif pada perkembangan otak yang mengakibatkan disfungsi perilaku dan kognitif.

10. Memengaruhi perkembangan pada otak remaja

Pixabay/hainguyenrp

Terlalu banyak waktu di media sosial, tak hanya bisa memengaruhi kesehatan mental anak remaja mama, tetapi juga dapat memengaruhi otaknya yang sedang berkembang.

Meskipun gejala psikologis mungkin lebih terlihat oleh teman, keluarga, dan guru yang bersangkutan - depresi dikaitkan dengan kelainan otak fungsional dan struktural.

Tergantung pada tingkat keparahan dan durasi depresi pada anak-anak dan remaja, daerah otak seperti hipokampus, talamus, amigdala, korteks frontal dan prefrontal dapat menyusut.

Mereka yang mengalami depresi berkepanjangan yang parah lebih mungkin mengalami peradangan otak dan pembatasan oksigen yang dapat menciptakan masalah untuk fungsi neurotransmiter, neuroplastisitas, pembelajaran dan memori, suasana hati, dan menyebabkan kematian sel otak.

Nah itulah informasi seputar bagaimana media sosial bisa memengaruhi kesehatan mental remaja. Walaupun intensitas penggunaan ponsel dapat meningkat sesuai usia anak, penting bagi orangtua untuk tetap mengawasi penggunaan ponsel pada anak.

Misalnya, remaja dapat menggunakan ponsel-ponselnya di jam tertentu, seperti waktu istirahat untuk bermain media sosial, waktu belajar untuk mencari informasi, dan penting juga menetapkan waktu luang bersama keluarga tanpa gangguan ponsel.

The Latest