TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Ketidakmatangan Emosi Jadi Pemicu Pernikahan Seumur Jagung, Benarkah?

Simak penjelasan psikolog mengenai fenomena pernikahan yang hanya seumur jagung

Pixabay/ArmOrozco

Setiap pasangan yang sedang membangun bahtera rumah tangga tentu ingin hubungan mereka tetap harmonis. Namun, tidak selamanya hubungan pernikahan bisa berjalan mulus sesuai dengan keinginan. 

Fenomena pernikahan yang hanya seumur jagung pun bisa terjadi pada beberapa pasangan hingga akhirnya kedua belah pihak memutuskan untuk bercerai. Dikatakan seumur jagung dikarenakan pernikahan tersebut berlangsung sebentar dalam hitungan bulan atau minggu. 

Terkait pernikahan seumur jagung, Popmama.com telah mewawancarai Alexandra Gabriella A., M.Psi, Psi., C.Ht, C.ESt sebagai psikolog klinis untuk membahas fenomena ini. 

Jika ingin mengetahui beberapa penjelasan terkait fenomena pernikahan seumur jagung, simak rangkumannya. 

Pandangan Psikolog tentang Fenomena Pernikahan Seumur Jagung

Unsplash/Kelly Sikkema

Menurut Alexandra, istilah ini dapat terjadi karena adanya pandangan yang salah terkait arti dan konsep sebuah pernikahan. 

"Fenomena ini bisa terjadi karena masyarakat lebih menganggap bahwa pernikahan sebagai sebuah jawaban. Padahal pernikahan itu sebenarnya merupakan tugas baru, bahkan akan menghadapi berbagai tantangan ke depan sebagai pasangan suami istri," ucap Alexandra. 

Fenomena pernikahan seumur jagung bermula dari ketidaksiapan mental dan emosional seseorang. 

Padahal berbagai masalah atau tantangan selama menjalani pernikahan sangat membutuhkan kematangan emosi, sehingga dapat memberikan solusi terbaik. 

"Orangtua mulai sakit-sakitan, lalu anak dinikahkan. Anak putus sekolah, kemudian dinikahkan agar mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Hal inilah yang membuat seseorang tidak dapat memperhitungkan kesiapan secara mental dan emosional untuk menjalankan tanggung jawab dalam perannya di pernikahan," ucapnya. 

Bagaimana Kematangan Emosi Berperan agar Pernikahan Tidak Berakhir Seumur Jagung?

Pixabay/Tumisu

Ketika menjalani sebuah pernikahan, kematangan emosi sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi di dalam rumah tangga. 

Mengingat bahwa kematangan emosi menjadi salah satu pondasi mengenai sebuah kesiapan. Siap dalam arti ketika menghadapi berbagai konflik di dalam rumah tangga yang bertujuan untuk saling mengenal satu sama lain. 

Ketika diwawancarai oleh Popmama.com, Alexandra mengatakan bahwa kematangan emosi memang sangat berperan penting ketika menjalin sebuah hubungan dengan seseorang termasuk saat sudah memiliki teman hidup. 

Menurutnya, kematangan emosi yang baik bisa membuahkan rasa toleransi, empati bahkan mampu mengalahkan ego diri sendiri dalam menyelesaikan segala konflik pernikahan. 

Ketika seseorang memiliki kematangan secara emosi, maka mampu membangun kehangatan yang baik bersama pasangan. 

"Selain itu, kematangan emosi yang baik mampu menjadi pondasi dalam menghadapi masalah. Dengan adanya kematangan emosi, maka seseorang tidak akan berusaha menghindar atau mungkin lari dari masalah," ucap Alexandra. 

Kesiapan Komitmen Menjadi Faktor Lain yang Dapat Menghindari Terjadinya Pernikahan Seumur Jagung

Freepik/Yanalya

Selain kematangan emosi, Alexandra mengatakan bahwa kesiapan komitmen perlu hadir saat ingin membina sebuah rumah tangga. Dengan adanya kesiapan komitmen, maka dapat menghindari pemicu terjadinya pernikahan seumur jagung. 

Ketidaksiapan secara komitmen terjadi di masyarakat yang terlalu memaksakan diri untuk melakukan pernikahan. Sebagai contoh, ada sebagian pasangan yang terlalu  impulsif terbawa nafsu, sehingga perkenalan atau pacaran sangat singkat. 

Selain itu, ada juga yang terburu-buru untuk menikah karena faktor usia tanpa memikirkan kematangan emosi dan kesiapan komitmen. 

Padahal terlalu cepat memutuskan untuk menikah tanpa mempertimbangkan komitmen jangka panjang hanya akan berdampak buruk.

Apa Saja Dampak yang Terjadi pada Seseorang yang Mengalami Pernikahan Seumur Jagung?

Freepik/spukkato

Sebagai seorang psikolog, Alexandra mengatakan bahwa pasangan yang berada di situasi pernikahan seumur jagung dapat berdampak buruk terhadap kesehatan mentalnya. 

"Jelas sekali pasti ada trauma kepercayaan, sehingga dapat membuat seseorang memiliki persepsi negatif tentang pernikahan. Hal ini tentu akan membuat seseorang sulit untuk buka diri karena takut pernikahannya kembali berujung pada perceraian. Selain itu, kalau sampai sudah ada anak, maka sangat jelas bahwa anak-anak pun bisa menjadi korban perceraian," jelas Alexandra. 

Alexandra sangat menyayangkan jika pernikahan seumur jagung dapat memengaruhi kesehatan mental anak di masa depan. 

Jadikan Pernikahan Seumur Jagung di Masa Lalu sebagai Sebuah Pembelajaran

Freepik/Jcomp

Alexandra menyarankan agar pernikahan seumur jagung tidak kembali terulang di masa depan, maka ada baiknya seseorang harus belajar dari masa lalu. 

"Belajarlah dari pengalaman dan menyadari bahwa kesalahan-kesalahan di masa lalu dapat dijadikan pembelajaran berharga ke depannya. Pengalaman bisa membantu seseorang menjadi pribadi yang lebih baik lagi demi membangun keluarga yang sehat," ucapnya. 

Itulah beberapa pembelajaran terkait fenomena pernikahan seumur jagung yang mungkin sudah dialami oleh beberapa pasangan. Semoga informasi ini bisa membantu kesiapan komitmen dan kematangan emosi saat menjalani sebuah bahtera rumah tangga. 

Baca juga: 

The Latest