Dalam penelitiannya, Candice dan tim menilai 37 anak berusia antara 7 dan 11 tahun dalam dua tes yang berbeda.
Pertama, anak-anak yang cukup tidur di malam sebelumnya. Kemudian, tes kedua dilakukan pada anak-anak yang tidurnya dibatasi sehingga membuat mereka lelah dan rewel keesokan harinya.
Selama evaluasi di laboratorium, anak-anak diperlihatkan dua set gambar; beberapa gambar memiliki asosiasi positif seperti pelangi dan es krim, dan yang lain menggambarkan asosiasi negatif seperti anjing menggonggong atau ditembak.
Sementara anak-anak melihat gambar-gambar ini, kamera merekam ekspresi wajah mereka.
Dua tahun kemudian, orangtua mereka diminta untuk memberikan laporan tentang bagaimana anak mengelola hubungan sosialnya.
Candice menulis, "Anak-anak yang menunjukkan ekspresi wajah yang kurang positif dalam menanggapi gambar-gambar yang menyenangkan ketika tidurnya dibatasi, dilaporkan memiliki lebih banyak masalah sosial dua tahun kemudian, bahkan ketika mereka mengendalikan masalah sosial sebelumnya."
Dari sini Candice dan timnya berpikir bahwa, jumlah tidur berkualitas yang didapat anak-anak ketika masih muda dapat membantu mereka dalam hubungan sosialnya kelak.
Hasil penelitian ini cocok dengan banyak penelitian yang menunjukkan bagaimana kualitas tidur dapat berdampak besar pada diri anak. Baik secara mental, fisik, hingga kesehatan sosial.