Kalau beberapa kesalahan di atas masih tanpa sadar Mama lakukan, tenang dulu, Ma! Yuk, kita intip penjelasan Pritta Tyas dengan beberapa kunci utama yang bisa diterapkan.
Pertama, biasakan untuk mendengarkan tanpa terburu-buru memberi solusi. Tunjukkan empati dengan berkata, "Pasti kamu bingung atau sedih ya, coba sini cerita dulu sama Mama..." Dengan menjadi pendengar yang baik, anak akan merasa aman untuk berbagi.
Kedua, validasi perasaan mereka, Ma. Katakan bahwa emosi yang mereka rasakan adalah wajar, seperti, "Wajar kalau kamu merasa kayak gitu, manusiawi kok!" Validasi ini membuat anak merasa dipahami dan tak dihakimi, yang merupakan fondasi untuk keterbukaan.
Terakhir, jadilah role model keterbukaan. Sebagai peniru ulung, kita perlu jadi role model baginya dengan membiasakan diri bercerita tentang pengalaman atau perasaan sendiri. Dengan melihat orangtuanya terbuka, anak akan merasa lebih aman untuk berbagi dan belajar cara mengungkapkan perasaannya dengan baik.
Memahami bahwa fase pre-teen adalah masa transisi yang penuh gejolak bagi anak adalah kunci kesabaran orangtua.
Meski rasanya tak mudah dan kadang kala bikin Mama merasa bingung, khawatir, bahkan tak jarang ikut marah, tapi hal ini pasti akan segera berlalu, kok!
Dengan pendekatan yang tepat, penuh empati, dan tanpa penghakiman, kita sebagai orangtua bisa menciptakan iklim kepercayaan yang membuat anak merasa nyaman untuk tetap terbuka.