Praktik tanam paksa ini memberikan keuntungan ekonomi bagi pemerintah kolonial dan perusahaan-perusahaan Eropa, tetapi sekaligus merugikan masyarakat setempat. Petani kehilangan sebagian besar hak atas lahan pertanian mereka, terjadi eksploitasi tenaga kerja, dan sering kali terjadi penyalahgunaan hak asasi manusia.
Para petani yang memiliki ladang untuk ditanami tanaman pokok mengalami kerugian yang besar karena ladang mereka menjadi terbengkalai akibat terlalu sibuk mengurus tanaman-tanaman berkomoditas ekspor. Wabah penyakit juga menyebar karena banyak petani yang sakit akibat bekerja tanpa henti. Tanam paksa juga menjadi salah satu faktor akan terjadinya dekolonisasi oleh negara-negara jajahan Eropa lainnya.
Meski menguntungkan pemerintah kolonial Belanda. Ternyata ada juga tokoh-tokoh dari Belanda yang menentang sistem mengerikan tersebut. Sebut saja Douwes Dekker, seorang penulis dan petugas pemerintahan kolonial Belanda yang memiliki nama pena Multatuli. Ia menentang sistem tanam paksa yang dilakukan kolonial Belanda melalui karyanya yang diberi judul "Max Havelaar."
Itulah informasi seputar tanam paksa pemerintahan kolonial Belanda. Tanam paksa dan sistem eksploitasi serupa sering menjadi faktor pemicu kesadaran nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan. Ketidakpuasan terhadap penindasan ekonomi dan sosial ini seringkali memotivasi gerakan perlawanan yang pada akhirnya berkontribusi pada dekolonisasi yang terjadi di berbagai negara jajahan, termasuk Indonesia.