Sayang sekali kalau masih belum sesuai umur, namun sudah harus menjalani hubungan berkeluarga. Pasti ada saja ketidaksiapan fisik atau mental yang tidak bisa diungkapkan.
Yohana Yembise, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sangat menyayangkan pernikahan pada anak-anal yang terjadi di Desa Tungkap, Kecamatan Binuang, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.
“Kita tidak boleh mentolerir dan harus menolak pernikahan pada usia anak-anak. Ini bukan sebuah kepentingan terbaik yang harus dilakukan anak-anak,” tegas Yohana.
Pada kasus A dan I yang terlanjur melakukan pernikahan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) telah melakukan pendampingan serta upaya persuasif agar setidaknya pasangan ini menunda kehamilan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan hingga kondisi fisik pihak perempuan sudah siap. Terutama mengenai alat reproduksi dan kematangan emosional mereka sudah siap untuk mempunyai anak, karena secara psikologis usia anak belum matang untuk membangun keluarga.
Menteri Yohana menyebutkan, kementerian juga akan mengupayakan pendampingan dan pemantauan terhadap pasangan tersebut, untuk mencegah kemungkinan kekerasan dalam rumah tangga atau perceraian. Selain itu, memastikan hak-hak anak tetap terpenuhi seperti pendidikan dan kesehatan, serta tidak melakukan pernikahan yang diakui negara hingga usianya telah siap sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
Yohana menambahkan, KemenPPPA terus mendorong revisi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, agar menaikkan usia perkawinan minimal 20 tahun untuk anak perempuan dan 22 tahun untuk anak laki-laki. Ketentuan batas minimal usia pernikahan harus dinaikkan untuk mencegah pernikahan pada anak di bawah umur terus terjadi.
Beberapa hal di atas bisa dijadikan cerminan mengenai banyaknya pernikahan anak-anak yang masih di bawah umur.
Semoga informasi ini membukakan mata Mama ya.