Dilansir dari verywellmind.com, penelitian menunjukkan bahwa rasa takut ketinggalan bisa berasal dari ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan remaja dengan kehidupannya, dan perasaan ini dapat mendorong anak lebih banyak menggunakan media sosial.
Pada gilirannya, intensitas yang lebih besar dengan media sosial dapat membuat anak merasa lebih buruk tentang diri dan hidupnya, bukan lebih baik.
Untungnya, Mama dapat membantu anak untuk meminimalisir rasa takut akan ketinggalannya tersebut dan mencegah anak untuk melakukan tindakan buruk, dengan menerapkan langkah-langkah di bawah ini:
Ubah fokus anak
Daripada berfokus pada kekurangan yang dimiliki, cobalah meminta anak untuk memerhatikan apa yang ia miliki. Ini memang lebih mudah diucapkan daripada dilakukan di media sosial, di mana anak mungkin dibombardir dengan hal-hal yang tidak dimilikinya, tetapi itu bisa dilakukan.
Tambahkan lebih banyak orang positif ke pertemanan media sosialnya, dan sembunyikan orang yang cenderung terlalu sombong atau tidak mendukung anak.
Hal ini dapat membantu anak mengurangi pemicu FOMO-nya dan lebih banyak hal yang membuat ia merasa nyaman dengan diri sendiri. Berusahalah untuk mengidentifikasi apa yang mungkin melemahkan kegembiraan anak.
Berusahalah untuk meminimalkan rasa iri dan menambahkan lebih banyak asupan kehidupan yang membuat anak lebih bahagia.
Minta anak menulis jurnal
Mengunggah di media sosial adalah hal yang umum untuk mencatat hal-hal menyenangkan yang anak lakukan. Namun, hal ini justru berdampak pada anak yang ingin mendapatkan validitas atau pengakuan dari orang lain secara online.
Jika ini masalahnya, Mama mungkin dapat mengajak anak untuk mengambil beberapa foto dan menyimpan kenangannya secara offline, dengan membuat jurnal pribadi tentang kenangan terbaiknya.
Membuat jurnal juga dapat membantu anak mengalihkan fokus dari pengakuan menjadi apresiasi pribadi terhadap hal-hal yang membuat hidup anak lebih hebat. Perilaku ini terkadang dapat membantu anak keluar dari siklus media sosial dan FOMO.
Carilah pertemanan yang lebih nyata
Perasaan kesepian atau pengucilan sebenarnya adalah cara otak kita memberi tahu bahwa kita ingin mencari koneksi yang lebih besar dengan orang lain dan meningkatkan rasa memiliki. Sayangnya, keterlibatan media sosial tidak selalu menjadi cara tepat untuk mencapai hal ini.
Anak mungkin berlari dari satu situasi buruk ke situasi yang lebih buruk. Daripada mencoba lebih banyak terhubung dengan orang-orang di media sosial, anak sebaiknya mencari hubungan atau pertemanan secara nyata.
Membuat rencana dengan seorang teman yang baik, mengadakan tamasya, atau melakukan kegiatan sosial yang membuat anak bergaul dengan teman-teman bisa menjadi langkah perubahan yang tepat, dan itu dapat membantu anak menghilangkan perasaan Fomo.
Jika anak tidak punya waktu untuk membuat rencana, mengirim pesan langsung di media sosial ke seorang teman dapat membina hubungan yang lebih baik dan lebih intim, daripada memposting foto ke semua media sosial dan mengharapkan "suka" dari orang lain.
Fokus pada bersyukur
Penelitian menunjukkan bahwa terlibat dalam aktivitas yang meningkatkan rasa syukur seperti menulis jurnal rasa syukur atau sekadar memberi tahu orang lain apa yang ia hargai, dapat mengangkat semangat anak serta semua orang di sekitarnya.
FOMO seringkali membuat anak merasa seolah-olah selalu kekurangan, namun lupa pada kelimpahan yang sudah ia miliki. Mensyukuri kehadiran orang lain juga berlaku, karena membuat orang lain merasa baik seringkali membuat perasaan semakin baik.
Setiap anak bahkan orang dewasa merasakan tingkat FOMO pada waktu yang berbeda dalam hidup mereka. Setelah mengikuti langkah-langkah di atas, Mama mungkin membantu anak keluar dari jebakan media sosial dan melepaskan kecemasan dari "ketinggalan" pada apa pun.
Apalagi ketika anak mulai menyadari betapa banyak yang sudah ia miliki, dan sangat baik untuk kesehatan mental dan emosionalnya di masa remaja.