Perjuangan Jonathan Pitre “The Butterfly Children” Akhirnya Selesai

Jonathan Pitre mengidap penyakit langka yang membuat kulitnya serapuh sayap kupu-kupu

13 April 2018

Perjuangan Jonathan Pitre “The Butterfly Children” Akhir Selesai
Youtube.com/Ottawa Citizen

Bagaimana kehidupan seseorang memberi makna dan kematiannya menyisakan inspirasi?

Mama mungkin belum mengenal Jonathan Pitre dari Ottawa, Kanada. Anak lelaki berusia 17 tahun ini meninggal pada 4 April 2018. Namun, jika membaca kisahnya, Popmama.com yakin, Mama akan sangat terinspirasi.

Jonathan adalah anak tunggal dari ibu tunggal Tina Boileau. Ia lahir sebagai anak laki-laki yang bersih dan ganteng luar biasa. Tina, yang waktu itu masih kuliah, bilang, “Saya jatuh hati pada pandangan pertama.”

Sehari setelah dilahirkan, di jari Jonathan timbul benjolan kecil seperti blister. Dokter mencurigai Jonathan mengalami masalah serius sehingga ia merujuknya ke rumah sakit yang lebih besar. Ketika dipindahkan, Jonathan mengalami henti napas dan ternyata, saluran pernapasannya dipenuhi gelembung berisi cairan dan sangat bengkak.

Dokter bisa menyelamatkannya saat itu dan mendiagnosis Jonathan mengalami kelain genetik epidermolysis bullosa (EB). EB diketahui sebagai penyakit yang paling menyakitkan. Penderita EB akan memiliki kulit yang sangat rapuh, bahkan gesekan dengan kain yang agak kasar saja mampu membuat kulitnya lepas dan menyebabkan luka sangat menyakitkan.

Kondisi kulit yang serapuh sayap kupu-kupu itu yang membuat Jonathan mendapat julukan The Butterfly Children.

Semangat Positif dari Jonathan

Semangat Positif dari Jonathan
Youtube.com/Ottawa Citizen

Tina mengenang anak laki-lakinya itu sebagai anak yang penuh semangat dan mimpi yang tinggi.

“Ia tahu kondisinya. Garukan lembut sekali pun bisa menyebabkan luka yang sangat menyakitkan, tetapi Jonathan tidak gentar. Ia bermimpi suatu kali nanti menjadi pemain hoki profesional dan bisa melihat aurora di langit Alaska,” kenang Tina seperti yang ditulis oleh Ottawa Citizen.

Tina menerima dengan baik kondisi anaknya itu. Ia berhenti kuliah ketika mengetahui Jonathan sangat membutuhkan dirinya. Ia segera menjadi ahli untuk membantu anaknya hidup “sempurna”.

“Saya harus memodifikasi semua baju-bajunya. Melapisinya dengan sutra lembut dan mengganti semua kancing tarik yang keras dengan kancing rekat yang lembut. Saya membuatkannya baby walker dan sepeda yang penuh bantalan lembut. Jonathan tahu ia istimewa dan ia tidak pernah mengeluh,” kata Tina.

Kepada Andrew Duffy, wartawan Ottawa Citizen, Jonathan bilang, bahwa ia mengalami masa-masa yang berat dalam hidupnya. Sakit yang ia alami setiap memakai baju atau bergerak sangat luar biasa. Ia tidak bisa melakukan banyak hal sehingga menyebabkannya tidak punya teman di sekolah.

“Meskipun ia selalu mendapat nilai A untuk pelajaran sekolah, ia sangat ingin bermain bersama teman-temannya. Dan itu sangat menyakiti hatinya,” tulis Andrew.

Suatu hari, di tahun 2012, Jonathan diundang oleh DEBRA, sebuah organisasi non profit di Kanada yang membantu mendanai anak-anak dengan penyakit langka. Jonathan melihat, bahwa dirinya bukanlah satu-satunya anak yang hidup dengan penyakit langka yang belum ditemukan obatnya.

“Di titik itulah saya mendapat pencerahan bahwa hidup saya ada artinya. Saya tahu bahwa Tuhan menciptakan saya mengajarkan kepada orang lain tentang apa itu EB dan menjadikan diri saya motivator untuk menyemangati anak lain yang juga seperti saya,” kata Jonathan.

Sepulang dari konferensi itu, Jonathan menjadi lebih bersemangat. Bersama ibunya, ia mengedukasi banyak orang tentang EB dan menggalang dana untuk DEBRA.

Pengorbanan Besar Mama Tina

Pengorbanan Besar Mama Tina
Youtube.com/Ottawa Citizen

Di balik kepasrahan, pikiran positif, dan hati baik Jonathan, ada Tina, mama yang hebat.

Ia tidak hanya memutuskan berhenti kuliah, tetapi juga menjadi perawat dan motivator nomor 1 buat anaknya.

“Memandikan Jonathan saja butuh waktu berjam-jam. Saya harus membalut tubuhnya dengan penutup khusus, memandikannya dengan sangat hati-hati, kemudian mengganti pembalutnya setelah mengolesi semua tubuhnya dengan krim obat,” kata Tina.

Tina bahkan merelakan sumsum tulang belakangnya diambil sebagian untuk didonorkan kepada Jonathan. Saat itu, Jonathan menjalani percobaan pengobatan dengan cara transplantasi sumsum.

Tina melihat anak satu-satunya ini sebagai anak yang sangat bersemangat dan punya cita-cita tinggi. “Ia ingin main hoki, main sepeda, mengunjungi tempat-tempat unik. Ia sangat menyukai hoki sampai suatu ketika, ia diundang National Hockey League (NHL) ke acara NHL Awards. Jonathan bertemu dengan semua idolanya. NHL menyumbang banyak untuk DEBRA dan selalu berkomunikasi dengan Jonathan,” kata Tina.

Setelah Jonathan tiada, satu pertanyaan muncul di benak Tina, “Bagaimana saya bisa hidup tanpa dirinya? Saya tidak bisa membayangkannya. Saya sangat kehilangan,” tuturnya.

Jonathan Dikalahkan Infeksi Bakteri

Jonathan Dikalahkan Infeksi Bakteri
Youtube.com/ Ottawa Citizen

Sepuluh hari menjelang kematiannya, kondisi Jonathan sangat buruk. Ia mengalami infeksi bakteri yang sangat parah. Bakteri sudah resisten dengan antibiotika yang diberikan dan sudah menginfeksi darahnya.

“Infeksi ini terjadi setelah Jonathan menjalani proses transplantasi stem cell memakai sumsum tulang belakang yang sangat berisiko. Setelah transplantasi itu, kondisi Jonathan memburuk. Ia terserang demam tinggi dan tubuh yang lemah,” kata Tina.

Prosedur transplantasi ini dilakukan Dr. Jakub Tolar dari Universitas Minnesota. Transplantasi ini diharapkan bisa merangsang tubuh membuat kulit baru dari kulit yang rapuh. Tina, menyumbangkan cairan sumsum tulang belakangnya untuk proses ini.

“Jonathan telah melakukan operasi pertama di tahun 2016 dan gagal. Meski agak kecewa, Jonathan tidak putus asa. Ia menjalani percobaan kedua akhir tahun 2017 dan ternyata tubuhnya menolak. Ia mengalami infeksi yang sangat parah sehingga tingkat sakitnya mencapai level 10, sudah tingkat yang sangat menyakitkan manusia,” kata Tina.

Meski lega karena kini Jonathan tidak lagi mengalami sakit, Tina belum bisa menjawab bagaimana hari-harinya setelah anaknya tiada.

“Saya sangat bangga karena Jonathan telah membuka mata banyak orang. Sekarang, sudah banyak orang yang peduli akan EB. Itu pencapaian yang sangat besar dan membanggakan,” kata Tina.

Semoga senyum Jonathan selalu mengingatkan kita betapa beruntungnya bisa hidup tanpa rasa sakit. Semoga juga semangatnya selalu membuat kita peduli dengan anak-anak yang punya penyakit langka.

Selamat jalan, Jonathan!

The Latest