Penyebab Rudapaksa Anak Di Bawah Umur Meningkat, Ini Kata Psikolog

Faktor ekonomi keluarga memegang peran penting pada rasa empati anak

9 Oktober 2024

Penyebab Rudapaksa Anak Bawah Umur Meningkat, Ini Kata Psikolog
Pexels/Noel Blck

Belakangan ini, meningkat kasus rudapaksa yang dilakukan anak di bawah umur di Indonesia. Salah satu yang ramai diperbincangkan pada September 2024 lalu adalah kasus empat anak di bawah umur di Palembang tega bunuh siswi SMP (13) usai melakukan rudapaksa. 

Mirisnya, pelakunya merupakan kekasih korban IS (16), bersama tiga rekannya MZ (13), NS (12), dan AS (12). Diketahui pula bahwa IS kerap menonton film porno, sehingga membuatnya berhasrat untuk melakukan hal tak senonoh kepada korban. 

Psikolog Anak dan Keluarga sekaligus Head of School Sekolah Cikal Tari Sandjojo M.Psi memberikan penjelasan terkait faktor pemicu meningkatnya kasus rudapaksa anak di bawah umur. 

Dari sisi psikologis, terdapat tiga pemicu utama yang membuat hal ini bisa terjadi. Lantas, apa faktor penyebab rudapaksa anak di bawah umur meningkat

Simak ulasannya telah Popmama.com rangkum berdasarkan penjelasan Psikologi Anak dan Keluarga. 

Editors' Pick

1. Kurangnya percakapan dan keterbukaan orangtua dengan anak di fase remaja

1. Kurang percakapan keterbukaan orangtua anak fase remaja
Freepik/freepik

Penting sekali keterbukaan orangtua untuk membangun percakapan tentang seksualitas anak, khususnya bagi anak yang sudah memasuki fase remaja. 

Sayangnya, di masa kini masih banyak orangtua di luar sana yang cenderung menganggap fase remaja tidak sepenting tumbuh kembang anak sebelumnya. Sehingga, penerapan parenting pada remaja tidak dilakukan dengan baik. 

“Kelekatan keluarga di paling awal adalah faktor penting, namun, sayangnya kecenderungannya kini para orang tua merasa bahwa parenting teens jadi tidak sepenting parenting untuk anak-anak di usia sebelumnya.” ucap Tari Sandjojo M.Psi. 

Salah satu bentuk kurangnya kehadiran dan keterbukaan orangtua adalah menunda pembahasan yang penting, seperti topik terkait seksualitas. 

“Karena anggapan bahwa fase tumbuh kembang remaja tidak sepenting sebelumnya orang tua jadi merasa ‘udah gede-lah anaknya doain aja’ atau ‘ya udah dia memang nggak butuh kita lagi’ atau ‘nanti aja deh dibahas’. Akibatnya, rasa ingin tahu anak terhadap seksualitas, berbagai percakapan yang melatih mereka dalam mengambil keputusan, atau diskusi-diskusi yang membangun empati, jadi tidak bisa tersalurkan.” jelasnya.

2. Anak mencari jawaban sendiri dari internet, bukan dari orangtua

2. Anak mencari jawaban sendiri dari internet, bukan dari orangtua
Freepik

Akibat sikap orangtua yang enggan membimbing atau menunda pembahasan penting, membuat anak remaja berusaha mencari tahu sendiri apa yang ingin diketahuinya.

Jawaban yang ingin mereka ketahui tak hanya berasal dari penggunaan teknologi atau internet, tetapi bisa juga lewat percakapan dengan orang asing

“Dengan situasi zaman di mana teknologi jadi napasnya semua orang, tentunya anak remaja jadi beralih mencari panduan lewat gawai yang ada di tangannya. Namanya ingin tau, tentu dari sekedar cari informasi tentang seksualitas, eksplorasinya bisa ke mana-mana. Namanya butuh percakapan dan tidak didapat di rumah, tentunya dia cari percakapan lain lewat gawai dengan orang asing atau siapapun” tegasnya.

Kasus rudapaksa yang dilakukan anak di bawah umur inilah menunjukkan bahwa mereka terpapar informasi tentang seksualitas dari sumber tidak tepat.

Serta, kurangnya peran keluarga yang seharusnya menjadi tempat pertama untuk berbicara tentang hal tersebut di rumah.

3. Faktor ekonomi keluarga memegang peran penting pada rasa empati anak

3. Faktor ekonomi keluarga memegang peran penting rasa empati anak
Freepik

Selain dua faktor penyebab di atas, Tari juga menjelaskan bahwa kondisi ekonomi juga menjadi hal yang erat kaitannya dengan kondisi psikologis dari sebuah keluarga.

Artinya, kerasnya kehidupan yang dilewati anak berdampak pada kemampuan regulasi dan rasa empati si Kecil. 

“Situasi bisa bertambah lagi faktornya untuk keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah. Bagi sebagian dari keluarga dengan sosial ekonomi rendah, kerasnya hidup dihadapi dengan mengeraskan diri serta mematikan empati, sehingga banyak anak muda dalam tingkat sosial ekonomi sulit punya kemarahan dan melampiaskan ke orang lain juga dengan kekerasan,” ucapnya. 

Menurut Tari, tidak mudah untuk memetakan penyebab mana yang bisa diperbaiki. Namun, intinya adalah orang tua harus bergerak melakukan pencegahan dengan memperbaiki hubungan dan kelekatan dengan anak-anak yang beranjak remaja. 

“Pada akhirnya, tidak semudah itu memang menjawab yang mana duluan yang harus dibenarkan. Kalau masih punya privilege untuk melakukan pencegahan, as cliche as we always hear, maka mari perbaiki hubungan dengan remaja. Ngobrol lebih sering dan melakukan observasi lebih banyak untuk melihat perubahan perilaku, emosi, atau indikator lainnya.” imbuhnya.

Demikian ulasan mengenai faktor penyebab rudapaksa anak di bawah umur meningkat berdasarkan penjelasan psikolog. Penting sekali peran orangtua untuk membimbing anak agar tidak salah arah. 

Baca juga:

The Latest