Portugis melanjutkan perjalanannya dengan menjelajah daerah nusantara lainnya dengan mengirimkan tiga kapal lagi ke wilayah Indonesia. Satu kapal milik Portugis tenggelam, sementara itu dua lainnya berhasil mendarat di Kepulauan Banda dan Ternate.
Pada tahun 1512, Bangsa Portugis berniat membuat perjanjian dagang dengan dengan Kerajaan Sunda di Parahyangan. Namun berakhir gagal karena Portugis menerima penyerangan oleh raja-raja Islam di Jawa seperti Demak dan Banten yang menguasai pantai utara Jawa.
Portugis kemudian mengalihkan target ke Kepulauan Maluku, lebih tepatnya di Ternate. Awalnya masyarakat Maluku dan Sultan Ternate menyambut baik kedatangan Portugis yang datang membeli rempah-rempah dan membantu Ternate menghadapi musuhnya, terutama Kesultanan Tidore.
Kesultanan Ternate juga meminta bantuan Portugis untuk mendirikan sebuah benteng agar terhindar dari serangan kerajaan lain. Portugis mengabulkan ini dengan syarat perjanjian monopoli perdagangan rempah-rempah, perjanjian yang menimbulkan kesengsaraan rakyat karena dipaksa berjualan dengan harga murah. Akibatnya terjadi permusuhan antara Ternate dan Portugis.
Selain di Ternate, pada tahun 1522 Portugis juga datang ke Pajajaran di bawah pimpinan Henry Leme dan disambut baik oleh Pajajaran dengan maksud agar Portugis mau membantu dalam menghadapi ekspansi Demak.
Hal tersebut menyebabkan teciptanya Perjanjian Sunda Kelapa (1522) antara Portugis dan Pajajaran, yang isinya sebagai berikut.
- Portugis diijinkan mendirikan benteng di Sunda Kelapa.
- Pajajaran akan menerima barang-barang yang dibutuhkan dari Portugis termasuk senjata.
- Portugis akan memperoleh lada dari pajajaran menurut kebutuhannya.
Pada awal tahun 1527 Portugis datang kembali ke Pajajaran untuk merealisasi Perjanjian Sunda Kelapa, namun disambut dengan pertempuran oleh pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahilah.
Pertempuran berakhir dengan kemenangan dipihak pasukan Demak. Sejak saat itu Suda Kelapa namanya diganti menjadi Jayakarta, artinya pekerjaan yang jaya (menang).