Anak pun Bisa Alami Emotional Eating. Ini Cara Mencegahnya

Jangan biasakan anak menjadikan makanan sebagai obat penenang

7 Maret 2020

Anak pun Bisa Alami Emotional Eating. Ini Cara Mencegahnya
Freepik/Senivpetro

Dalam hidup ini, manusia butuh makan untuk bertahan hidup. Akan tetapi, ada kondisi-kondisi di mana makan lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan biologis, melainkan juga psikologis. Kondisi ini disebut dengan emotional eating atau makan secara emotional.

Jika selama ini pelaku emotional eating yang banyak disoroti adalah orang dewasa yang sedang mengalami masalah psikologis, nyatanya gangguan ini juga dapat dialami anak-anak. Efeknya bisa buruk bagi kesehatan anak lho, Ma. 

Lalu, bagaimana cara mencegahnya? Berikut Popmama.com punya lima tips menjauhkan anak dari emotional eating:

1. Jauhkan anak dari makanan dengan karakter atau warna yang menarik

1. Jauhkan anak dari makanan karakter atau warna menarik
Pixabay/Studioessen

Penelitian yang dimuat di rileychildrens.org menyebutkan, anak sangat mudah tertarik secara visual terhadap makanan dengan kemasan karaker kartun atau warna-warna yang menarik. Mereka cenderung memilih kemasan yang atraktif, sekalipun rasa makanannya biasa saja, bahkan tidak mereka sukai.

Karakter kartun dan warna-warni menarik mata mengingatkan anak akan momen yang menyenangkan, yang akhirnya membuat hubungan emosional antara anak dengan makanan tersebut.

Editors' Pick

2. Hindari memberikan makanan sebagai penenang

2. Hindari memberikan makanan sebagai penenang
Pxhere/CC0 Public Domain

Saat anak mengalami hari yang buruk, reaksi sebagian besar orangtua adalah menenangkannya dengan sesuatu yang menyenangkan. Misalnya, mengajak ke restoran cepat saji atau membelikannya sekotak es krim favorit.

Banyak orang juga berpendapat bahwa cokelat dapat membuat suasana hati seseorang merasa lebih baikan. Hal ini mendorong kepercayaan bahwa makanan dapat menjadi obat penenang setelah mengalami hari yang buruk atau perasaan yang tak nyaman. Akibatnya adalah secara tak sadar terbentuk kebiasaan jangka panjang untuk memuaskan lidah setelah mengalami kekecewaan.

3. Alihkan perhatian anak ke hal lain selain makanan

3. Alihkan perhatian anak ke hal lain selain makanan
Pixabay/theartofbetter

Tak hanya karena perasaan sedih, kecewa atau marah saja, emotional eating juga bisa dialami anak jika ia merasa bosan atau kesepian. Emotional eating bisa berubah menjadi 'teman' yang memenuhi nafsu dan kepuasaan diri anak.

Karenanya, penting untuk selalu menyibukkan anak dengan berbagai kegiatan yang mengalihkan perhatiannya dari keingin untuk selalu makan, makan dan makan. Misalnya dengan berolahraga, bermain di luar ruangan, menggambar, bermain musik atau membuat kerajinan tangan. 

4. Ajarkan anak menulis jurnal makanan

4. Ajarkan anak menulis jurnal makanan
Freepik

Salah satu cara untuk meruntut situasi hati adalah dengan menuliskan jurnal harian. Ajak anak menulis bagaimana suasana hatinya setiap hari, apa aktivitasnya, apa yang dimakannya hingga bagaimana perasaannya setelah makan.

Dari sinilah Mama dan anak bisa melihat apakah anak punya kecenderungan emotional eating dan mencari solusi yang lebih baik. Misalnya, berjalan kaki mengitari kompleks ketimbang ngemil sekantong keripik kentang.

5. Memikirkan ulang sebelum makan

5. Memikirkan ulang sebelum makan
Freepik

Seringkali dalam keseharian, manusia dikendalikan oleh emosionalnya dan tidak mengacuhkan apa yang benar-benar menjadi kebutuhan diri sendiri. Anak-anak pun mengalaminya. Mereka mungkin merasa stres akan pekerjaan rumah atau terlalu sibuk dengan kegiatan di sekolah maupun ekstrakurikuler sehingga tak punya waktu mendengarkan tubuhnya sendiri.

Oleh karenanya, ajarkan anak ambil waktu sejenak untuk berhenti, dan menghitung dari angka satu sampai lima. Jika setelahnya keinginan makan masih menggebu-gebu, itu artinya benar-benar lapar dan boleh makan. Jika keinginan makan menghilang, berarti sekadar godaan emotional eating.

Meski anak mungkin mengerti apa yang terjadi pada dirinya, di usianya yang masih sangat dini ia membutuhkan bantuan untuk keluar dari siklus emotional eating ini. Tentu saja tak semudah membalikkan telapak tangan, terutama jika emotional eating berkaitan dengan self-esteem dan obesitas.

Bila dirasa emotional eating ini mengganggu, konsultasikan masalah anak dengan para ahli, seperti konselor dan terapis yang bisa membantu melatih anak mengatasi perasaannya sendiri. Kehadiran ahli gizi juga bisa menolong mengidentifikasi pola makan dan mengembalikan kebiasaan mengonsumsi makanan sehat.

Semoga informasi ini menginspirasi ya, Ma.

Baca juga:

The Latest