Selama kurang lebih 30 tahun, peneliti melakukan riset mengenai kehidupan anak tunggal. Riset ini dipicu oleh keadaan keluarga-keluarga di China yang tidak boleh memiliki anak lebih dari satu.
Generasi anak tunggal di China diberi label sebagai generasi yang egois, manja, dan tidak bisa beradaptasi. Peneliti menyebutkan bahwa hal tersebut bukanlah mitos. "Anak tunggal sangat mementingkan dirinya sendiri, sulit bekerja sama dan bergaul dengan anak-anak lain,"tulis Business Insider mengenai riset tersebut.
Masalah ini, disebut para peneliti sebagai sindrom anak tunggal. Hal tersebut terjadi karena anak tunggal tidak memiliki saudara kandung sebagai teman berbagi, rival, dan saingan untuk merebut perhatian dari orangtua.
"Saudara kandung membantu perkembangan sosial seorang anak. Sejak kecil, anak yang memiliki saudara kandung sudah terlatih untuk berbagi, bergiliran, dan kesabaran. Dalam hal mendapat perhatian dari orangtua, anak yang memiliki saudara menjadi lebih gigih dan memiliki jiwa kompetitif," kata Avidan Milevsky, salah seorang peneliti tentang sindrom anak tunggal dari Ariel University di Israel.
Hasil penelitian menemukan bahwa anak tunggal kesulitan menjalin hubungan sosial karena tidak dilatih berinteraksi dan membaca tanda-tanda hubungan sosial sejak kecil.
Namun, Avidan menemukan bahwa anak-anak tunggal yang orangtuanya mengisi kekosongan pelajaran sosial tersebut dengan baik, bisa tumbuh menjadi orang dewasa yang paham bersosialisasi.
"Orangtua yang membawa anak tunggalnya bergaul dengan anak-anak lain atau saudara seumuran, tidak mengalami sindrom anak tunggal," kata Avidan.