Mengajarkan anak mengelola emosi bukanlah hal yang bisa dilakukan dalam semalam. Mama perlu memperkenalkan tentang label emosi, di mana mereka bisa mendeskripsikan secara jelas seperti apa yang dirasakannya, seperti, "Aku merasa kecewa kita tidak jadi pergi ke rumah nenek hari ini."
Jika anak dalam kondisi suasana hati yang buruk, bicarakan bagaimana perilaku yang berbeda akan menghasilkan dampak yang berbeda pula.
Misalnya, ketimbang mengurung diri di kamar yang malah membuat suasana hati semakin buruk, ia punya pilihan untuk memainkan permainan yang menyenangkan, yang dapat menghiburnya.
Orangtua pun harus tegas menerapkan konsekuensi dari perilaku buruk akibat ketidakmampuan anak mengelola emosinya.
Jelaskan bahwa ia tidak dihukum karena apa yang dirasakannya, melainkan karena perilakunya. Marah boleh, tetapi tidak dengan merusak mainan, misalnya.
Terakhir, jangan mengizinkan anak menggunakan emosinya sebagai alasan. Jika anak mengatakan ia tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah karena ia sedang merasa sedih, jangan biarkan ia melakukannya. Tetapi, tetap ada pengecualian ya, Ma, untuk hal-hal yang berurusan dengan kematian dalam keluarga atau keadaan darurat lainnya.
Seiring dengan bertambahnya usia, anak akan memiliki kontrol yang lebih baik atas emosinya. Tetapi memang perlu usaha sepanjang usia sekolah hingga remaja.
Masa kanak-kanak bisa menjadi masa roller coaster emosi yang paling menantang. Anak Mama akan belajar banyak tentang emosi dari cara orangtua merespons momen-momen sulit yang dihadapi.
Itulah cara membuat anak disiplin tanpa menekan emosinya. Anak berhak jujur termasuk mengekspresikan perasaannya. Ia juga perlu belajar untuk tenang dan hidup dalam kedisplinan.