Pada malam 17 Ramadhan 40 Hijriah, suasana di kota Kufah terasa tenang, namun takdir telah menulis sebuah kisah tragis yang akan mengguncang umat Islam selamanya. Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sang Khalifah keempat, seorang pemimpin yang adil, bijaksana, dan berani, sedang bersiap untuk menunaikan salat Subuh di masjid. Seperti biasa, dengan ketundukan hati dan penuh keikhlasan, ia melangkah dengan tenang menuju rumah Allah.
Sejak kecil, Ali telah dikenal sebagai sahabat terdekat Rasulullah SAW. Anak dari Abu Thalib, paman Nabi, dan Fathimah binti Asad, Ali tumbuh dengan keteguhan iman dan kecerdasan luar biasa. Pada usia enam tahun, ia telah diasuh oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, mempelajari setiap langkah, perilaku, dan kebijaksanaan dari sang Nabi. Ali menjadi salah satu dari orang-orang pertama yang memeluk Islam, anggota dari Assabiqunal Awwalun, dan sepanjang hidupnya ia membuktikan kesetiaannya kepada agama Allah dengan tak kenal lelah.
Ali dikenal tak hanya karena keberaniannya di medan perang, namun juga kecerdasannya yang diakui oleh para khalifah sebelum dirinya. Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman sering kali meminta pendapatnya dalam menyelesaikan masalah yang pelik. Setelah Khalifah Utsman wafat dalam sebuah tragedi berdarah, umat Islam berbalik kepada Ali untuk memimpin mereka, dan ia diangkat menjadi khalifah pada tahun 35 Hijriah. Namun masa kekuasaannya tidaklah mudah. Fitnah merajalela, dan perpecahan di kalangan umat mulai menggerogoti kesatuan Islam.
Di tengah pergolakan tersebut, sekelompok pemberontak mulai menyebarkan kabar palsu bahwa Mu'awiyah seharusnya menjadi khalifah, bukan Ali. Di balik konspirasi ini, Ibnu Muljam, seorang pengkhianat dengan hati penuh dendam, merancang sebuah rencana keji. Ia berangkat ke Kufah dengan tekad menghentikan kepemimpinan Ali. Dengan pedang beracun yang ia beli dengan harga seribu dirham dan dilumuri racun seharga seribu lagi, Ibnu Muljam menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Saat Subuh itu tiba, di masjid yang hening, Ali bersiap memulai ibadahnya. Namun tiba-tiba, kilatan cahaya muncul di antara kegelapan. "Hukum hanya milik Allah, bukan milikmu, wahai Ali!" teriak Ibnu Muljam sebelum pedangnya menebas kepala Ali. Ali jatuh, darahnya membasahi bumi. Orang-orang segera mengepung Ibnu Muljam, dan dalam kekacauan itu, Hasan, putra Ali, diberitahu tentang ayahnya yang terluka parah.
Ketika Ali dibawa ke rumahnya, Ummu Kultsum, putri Ali, menangis tersedu-sedu, "Wahai musuh Allah, ayahku pasti akan baik-baik saja, dan Allah akan menghinakanmu," tangisnya dengan kepedihan yang mendalam. Namun dengan dinginnya hati, Ibnu Muljam menjawab, "Untuk siapa kau menangis? Pedang ini telah kupersiapkan dengan racun yang mematikan. Tebasanku bisa membunuh seluruh penduduk kota ini jika mereka terkena."
Dokter-dokter terbaik di Kufah dipanggil untuk mengobati luka Ali, termasuk seorang tabib bernama Atsir ibn 'Amr Al-Sukuni. Dengan hati-hati, Atsir mencoba segala cara untuk menyelamatkan nyawa Ali, termasuk menggunakan urat dari paru-paru kambing untuk mengeluarkan racun dari luka Ali. Namun takdir telah berbicara. Luka itu terlalu dalam, dan racun telah mencapai otaknya.
Pada Jumat pagi, 17 Ramadhan 40 Hijriah, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, seorang pejuang sejati, pemimpin yang saleh, dan sahabat tercinta Nabi, menghembuskan napas terakhirnya. Kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam bagi umat Islam. Ali, yang sepanjang hidupnya berdiri teguh untuk keadilan dan kebenaran, kini telah tiada.
Meninggalkan 33 anak, Ali tidak hanya meninggalkan warisan dalam bentuk keluarga, namun juga dalam bentuk kebijaksanaan dan keteladanan. Kehilangan Ali adalah kehilangan besar bagi umat, namun ajaran dan perjuangannya tetap hidup, menjadi cahaya yang menuntun generasi-generasi selanjutnya dalam memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan iman.
Ali bin Abi Thalib, sang Singa Allah, meskipun telah wafat, tetap abadi dalam hati mereka yang mencintai kebenaran.
Kisah hidup dan kisah wafatnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib juga mengajarkan kita tentang keteguhan iman dan pengorbanan.