Instagram.com/seiban_official
Melansir NHK World Japan, Asosiasi Randoseru menjelaskan bahwa tradisi tas sekolah Jepang telah dimulai di sebuah lembaga pendidikan di Tokyo yang didirikan pada 1877 bernama Gakushuin.
Pada tahun 1885, sekolah melarang siswa datang dengan kereta kuda atau meminta karyawan keluarga membawakan tas mereka. Demi memudahkan siswa membawa perlengkapan sekolah, Gakushuin memperkenalkan ransel bergaya militer.
Tak seperti kebanyakan tas saat itu, tas ini dikenakan di punggung, sehingga tangan anak bisa bergerak dengan bebas. Akhirnya, tas ini pun dikenal sebagai randoseru, yang namanya diambil dari bahasa Belanda 'ransel'.
Dua tahun kemudian, atau tepatnya 1887, Perdana Menteri Hirobumi Ito memberikan sebuah randoseru kepada Pangeran Yoshihito, calon Kaisar Tasiho yang mulai bersekolah di Gakushuin.
Momen itu kemudian dipercayai telah menandai randoseru yang sebelumnya merupakan bagian dari perlengkapan sekolah, menjadi barang yang memiliki makna budaya yang luas.
Dikutip dari Tokyo Weekender, pada awalnya banyak yang menganggap ransel kulit sebagai barang mewah. Hal itu karena harganya terlalu mahal untuk dibeli oleh sebagian keluarga.
Alhasil, para siswa di daerah pedesaan pun sering menggunakan tas Furoshiki (kain pembungkus) sebagai penggantinya.
Randoseru kemudian bertahap menjadi standar nasional seiring dengan pertumbuhan ekonomi Jepang yang tinggi sejak tahun 1950-an.
Selama bertahun-tahun, siluet dan dimensi randoseru pun tetap tidak berubah dari prototipe kerajaan. Walau randoseru yang ditawarkan saat ini punya variasi dari segi harga, warna, dan bahan, tetap saja fungsionalitas dan keseragamannya sama.
Secara tradisional, tas randoseru dikenal memiliki warna hitam dan merah. Kini, beberapa produsen sudah memiliki variasi warna tas randoseru hingga 50 warna berbeda. Beberapa tas ini pun ada yang terbuat dari bahan berkualitas dengan variasi jahitan.