Dongeng Anak "Kalah oleh Si Cerdik"

  • Penulis : Atisah
  • Penyunting : Dony Setiawan, M.Pd.
  • Ilustrator : Evelyn Ghozalli, S.Sn. 

Di sebuah hutan ada sumber air yang tidak pernah kering. Airnya jernih dan mengalir ke sebuah telaga. Semua binatang yang menjadi warga di hutan itu minum dari  sumber  air yang sama. Setiap golongan binatang sudah mempunyai jadwal tidak tertulis untuk bergiliran minum.

Pada saat itu kebetulan musim kemarau. Semua binatang merasa sangat haus, tetapi tidak ada yang berani minum di luar jadwalnya. Semua binatang taat pada aturan.

Pada Suatu pagi yang cerah banyak binatang menuju sumber air. Sesampainya di pinggir telaga mereka tidak mau turun. Airnya kotor karena digunakan untuk berkubang oleh seekor badak.

Binatang-binatang itu mengelilingi telaga. Mereka memperhatikan tingkah laku sang Badak. Tidak satu pun yang berani menegurnya. Mereka takut karena Badak badannya besar dan bercula. Di pihak lain, Badak merasa bangga menjadi pusat perhatian dan tontonan. Ia tidak peduli pada binatang lain yang menahan rasa haus.

Pada hari berikutnya, Badak masih berada di telaga. Binatang-binatang lain sudah tak tahan lagi ingin minum. Mereka bermusyawarah mencari jalan keluar supaya Badak pergi dari telaga.

“Teman-teman, bagaimana jalan keluarnya?” tanya Harimau.

“Hem,    Babi    Hutan,    kamukan   punya

sihung1, coba digunakan,” kata Kerbau.

“Bukan aku tak mau, tapi sihung-ku tidak akan kuat menembus kulit Badak. Bisa-bisa sihung-ku rontok!” jawab Babi Hutan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Hem,   aku   punya  tanduk,   tetapi   …,” gumam Kerbau.

“Kerbau,   Kerbau,   kalau   tak   sanggup, bilang saja,” kata Monyet.

“He   he,  kamu?   Berani,   Nyet?”   tanya Kerbau.

“Sama, ... takut,” jawab Monyet. “Aku juga tak sanggup,” kata Kerbau.

“Kalau begitu, Ular Sanca, jangan cuma bergantung di akar. Cepat cari cara untuk mengalahkannya,” kata Burung.

“Aduh, aku minta maaf. Aku tak sanggup. Dia begitu besar. Tubuhku tak akan bisa membelitnya,” kata Ular Sanca.

Suasana menjadi sepi sebab tidak ada lagi yang berani melawan sang Badak. Mereka hanya bisa saling memandang.

“Kami percaya,” jawab binatang yang berkumpul itu berpikir keras. Ia mencari cara yang tepat untuk mengalahkan Badak yang badannya besar dan kuat. Ia berjalan mondar- mandir. Tiba-tiba ia tersenyum sendirian.

Ketika melihat Kancil tersenyum, binatang yang lain ikut senang. Itu pertanda masalah mereka akan dapat diatasi oleh Kancil. Kancil segera pergi menemui Badak. Pada saat itu sang Badak tengah berkubang.

“Selamat siang, Tuan yang sangat kami hormati, yang gagah perkasa, yang tidak ada bandingannya. Hamba memberanikan diri mengganggu kegiatan Tuan karena ada kabar penting yang perlu hamba sampaikan,” kata Kancil dengan kata-kata yang lembut dan sopan.

Badak pun segera bangun. Ketika mendengar ada binatang lain memujinya, ia merasa tersanjung. Ia kemudian bangkit sambil 

berkata, “Kabar penting, Kancil? Cepat bicara, aku ingin mendengarnya,” kata Badak sambil tersenyum.

Kancil mendekat ke arah Badak. Ia berpura-pura ingin menyampaikan sesuatu secara rahasia.

“Hamba kasihan sama Tuan. Badan besar berkubang di selokan kecil. Kulahnya sebesar tempurung. Tidak pantas, Tuan. Oh ya, ada makhluk yang berkhianat kepada Tuan. Jalan airnya ditutup supaya tidak mengalir. Sayang, makhluk itu tidak kelihatan oleh mata kita, dia makhluk gaib,” kata kancil.

“Apa? Ada yang jahil? Siapa? Di mana?” tanya Badak dengan emosional.

“Tenang, Tuan. Tenang,” jawab Kancil.

Suara Badak yang menggelegar membuat Kancil terkejut dan gemetar. Kancil mencari jalan bagaimana agar Badak bisa secepatnya dikalahkan.

“Tuan, makhluk gaib itu berada di dalam pohon teureup2,” kata Kancil sambil menunjuk sebatang pohon di depan Badak.

“Ah, yang benar?” tanya Badak.

“Benar, Tuan. Tuan harus mengawasi mereka dengan cara berdiri di bawah pohon teureup itu setengah hari, kemudian setengah hari lagi barulah Tuan berkubang di telaga. Kalau tidak demikian, air telaga cepat atau lambat akan surut dan Tuan tidak memiliki tempat berkubang lagi ,” jelas Kancil.

“Awas! Kalau kamu bohong,” ancam Badak.

“Percayalah, Tuan,” bujuk Kancil.

Tanpa berpikir lagi, Badak segera naik ke atas dan berjalan menuju pohon teureup. Ia pun mengawasi pohon itu selama setengah hari.

Sementara itu, binatang yang lain satu per satu berdatangan untuk minum air telaga. Ketika Badak telah selesai mengawasi pohon teureup, ia kembali menuju telaga. Sementara, binatang yang lainnya meninggalkan telaga.

Dengan demikian, sejak saat itu ada jadwal tidak tertulis yang cukup adil bagi semua binatang yang memerlukan air telaga.

Akhirnya, mereka mengucapkan terima kasih kepada sang Kancil yang cerdik itu. Berkat kecerdikannyalah masalah di lingkungan mereka dapat diatasi.

Komentar
Penulis : Atisah Penyunting : Dony Setiawan, M.Pd. Ilustrator : Evelyn Ghozalli, S.Sn.  Di sebuah hutan ada sumber air yang tidak pernah....
  • Penulis : Atisah
  • Penyunting : Dony Setiawan, M.Pd.
  • Ilustrator : Evelyn Ghozalli, S.Sn. 

Di sebuah hutan ada sumber air yang tidak pernah kering. Airnya jernih dan mengalir ke sebuah telaga. Semua binatang yang menjadi warga di hutan itu minum dari  sumber  air yang sama. Setiap golongan binatang sudah mempunyai jadwal tidak tertulis untuk bergiliran minum.

Pada saat itu kebetulan musim kemarau. Semua binatang merasa sangat haus, tetapi tidak ada yang berani minum di luar jadwalnya. Semua binatang taat pada aturan.

Pada Suatu pagi yang cerah banyak binatang menuju sumber air. Sesampainya di pinggir telaga mereka tidak mau turun. Airnya kotor karena digunakan untuk berkubang oleh seekor badak.

Binatang-binatang itu mengelilingi telaga. Mereka memperhatikan tingkah laku sang Badak. Tidak satu pun yang berani menegurnya. Mereka takut karena Badak badannya besar dan bercula. Di pihak lain, Badak merasa bangga menjadi pusat perhatian dan tontonan. Ia tidak peduli pada binatang lain yang menahan rasa haus.

Pada hari berikutnya, Badak masih berada di telaga. Binatang-binatang lain sudah tak tahan lagi ingin minum. Mereka bermusyawarah mencari jalan keluar supaya Badak pergi dari telaga.

“Teman-teman, bagaimana jalan keluarnya?” tanya Harimau.

“Hem,    Babi    Hutan,    kamukan   punya

sihung1, coba digunakan,” kata Kerbau.

“Bukan aku tak mau, tapi sihung-ku tidak akan kuat menembus kulit Badak. Bisa-bisa sihung-ku rontok!” jawab Babi Hutan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Hem,   aku   punya  tanduk,   tetapi   …,” gumam Kerbau.

“Kerbau,   Kerbau,   kalau   tak   sanggup, bilang saja,” kata Monyet.

“He   he,  kamu?   Berani,   Nyet?”   tanya Kerbau.

“Sama, ... takut,” jawab Monyet. “Aku juga tak sanggup,” kata Kerbau.

“Kalau begitu, Ular Sanca, jangan cuma bergantung di akar. Cepat cari cara untuk mengalahkannya,” kata Burung.

“Aduh, aku minta maaf. Aku tak sanggup. Dia begitu besar. Tubuhku tak akan bisa membelitnya,” kata Ular Sanca.

Suasana menjadi sepi sebab tidak ada lagi yang berani melawan sang Badak. Mereka hanya bisa saling memandang.

“Kami percaya,” jawab binatang yang berkumpul itu berpikir keras. Ia mencari cara yang tepat untuk mengalahkan Badak yang badannya besar dan kuat. Ia berjalan mondar- mandir. Tiba-tiba ia tersenyum sendirian.

Ketika melihat Kancil tersenyum, binatang yang lain ikut senang. Itu pertanda masalah mereka akan dapat diatasi oleh Kancil. Kancil segera pergi menemui Badak. Pada saat itu sang Badak tengah berkubang.

“Selamat siang, Tuan yang sangat kami hormati, yang gagah perkasa, yang tidak ada bandingannya. Hamba memberanikan diri mengganggu kegiatan Tuan karena ada kabar penting yang perlu hamba sampaikan,” kata Kancil dengan kata-kata yang lembut dan sopan.

Badak pun segera bangun. Ketika mendengar ada binatang lain memujinya, ia merasa tersanjung. Ia kemudian bangkit sambil 

berkata, “Kabar penting, Kancil? Cepat bicara, aku ingin mendengarnya,” kata Badak sambil tersenyum.

Kancil mendekat ke arah Badak. Ia berpura-pura ingin menyampaikan sesuatu secara rahasia.

“Hamba kasihan sama Tuan. Badan besar berkubang di selokan kecil. Kulahnya sebesar tempurung. Tidak pantas, Tuan. Oh ya, ada makhluk yang berkhianat kepada Tuan. Jalan airnya ditutup supaya tidak mengalir. Sayang, makhluk itu tidak kelihatan oleh mata kita, dia makhluk gaib,” kata kancil.

“Apa? Ada yang jahil? Siapa? Di mana?” tanya Badak dengan emosional.

“Tenang, Tuan. Tenang,” jawab Kancil.

Suara Badak yang menggelegar membuat Kancil terkejut dan gemetar. Kancil mencari jalan bagaimana agar Badak bisa secepatnya dikalahkan.

“Tuan, makhluk gaib itu berada di dalam pohon teureup2,” kata Kancil sambil menunjuk sebatang pohon di depan Badak.

“Ah, yang benar?” tanya Badak.

“Benar, Tuan. Tuan harus mengawasi mereka dengan cara berdiri di bawah pohon teureup itu setengah hari, kemudian setengah hari lagi barulah Tuan berkubang di telaga. Kalau tidak demikian, air telaga cepat atau lambat akan surut dan Tuan tidak memiliki tempat berkubang lagi ,” jelas Kancil.

“Awas! Kalau kamu bohong,” ancam Badak.

“Percayalah, Tuan,” bujuk Kancil.

Tanpa berpikir lagi, Badak segera naik ke atas dan berjalan menuju pohon teureup. Ia pun mengawasi pohon itu selama setengah hari.

Sementara itu, binatang yang lain satu per satu berdatangan untuk minum air telaga. Ketika Badak telah selesai mengawasi pohon teureup, ia kembali menuju telaga. Sementara, binatang yang lainnya meninggalkan telaga.

Dengan demikian, sejak saat itu ada jadwal tidak tertulis yang cukup adil bagi semua binatang yang memerlukan air telaga.

Akhirnya, mereka mengucapkan terima kasih kepada sang Kancil yang cerdik itu. Berkat kecerdikannyalah masalah di lingkungan mereka dapat diatasi.

Dongeng si Kancil memang tidak pernah lengkang di makan waktu ya