Citra Perempuan Bali dalam Novel Taria Bumi Karya Oka Rusmini

Apabila terdapat anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan Bali masih terbelakang dibandingkan laki-laki di bidang pendidikan, karier, pekerjaan atau dunia politik, tentu anggapan tersebut sulit untuk dibantah. Fakta dan data di masarakat dengan mudah bisa mendukung nggapan tersebut benar. Namun, apabila terdapat anggapan bahwa perempuan Bali bersifat pasif, nrimo, atau berpangku tangan saja tanpa memperjuangkan nasibnya atau nasib kaumnya dalam kehidupan sosial, anggapan tersebut adalah keliru. Inilah yang coba diungkap oleh Oka Rusmini dalam karyanya yang bertajuk Tarian Bumi.  

 

Tema yang diangkat dalam Tarian Bumi adalah perempuan dan hubungannya dengan adat dan budaya yang berlaku dalam sistem masyarakat Bali, terutama sistem perkastaan yang sangat sarat dengan feodalisme. Semua tokoh dalam novel Tarian Bumi terikat oleh sistem kasta dan tidak dapat menghindar dari kenyataan tersebut.

 

Nenek, perempuan yang luar biasa keras. Dia adalah seorang putri

bangsawan. Sejak kecil nenek selalu bahagia. Apapun yang dimilikinya selalu terpenuhi. Ayah nenek seorang pendeta yang mempunyai banyak sisia, orang-orang yang setia dan hormat pada griya. Otomatis sejak mudanya nenek punya kedudukan yang lebih tinggi dan terhormat dibanding dengan perempuan-perempuan lain di griya. (Tarian Bumi,2007: 14).

Dari kutipan di atas, tergambar jelas betapa perempuan bangsawan diperlakukan dengan lebih terhormat dibandingkan dengan perempuan lainnya. Dalam novel Tarian Bumi digambarkan bahwa aturan adat dan kasta sangat mengekang anggotanya dan mensubordinasikan kaum perempuan. Seorang perempuan dari kasta brahmana yang ingin menikahi laki-laki sudra harus rela menanggalkan seluruh atribut kebangsawanannya dan hidup menderita bersama suaminya. Sedangkan, apabila laki-laki brahmana menikahi perempuan sudra, laki-laki tersebut akan tetap menjadi seorang brahmana dan perempuan yang dinikahinya akan menjadi perempuan brahmana mengikuti suaminya.

 

Sepertinya, Oka Rusmini ingin mengangkat fenomena dalam masyarakat Bali yang sangat erat hubungannya dengan gender. Perempuan-perempuan dalam novel ini adalah perempuan yang berjuang untuk dapat mempertahankan hak-haknya untuk hidup berbahagia di genggaman sistem yang menaunginya.

 

Secara garis besar, Tarian Bumi bercerita tentang seorang perempuan yang berasal dari kalangan brahmana bernama Ida Ayu Telaga Pidada. Telaga adalah seorang penari yang memiliki paras yang sangat cantik. Ia dipercaya memiliki taksu, semacam bakat bawaan yang diturunkan dari roh penari sebelumnya. Pesona Telaga yang terpancar ketika menari dapat membuat seluruh laki-laki dari semua golongan masyarakat terpikat olehnya.

 

Pembentukan Telaga sebagai manusia yang utuh dipengaruhi oleh perempuan-perempuan yang ada di dalam kehidupannya. Perempuan pertama adalah ibunya, Luh Sekar (Jero Kenanga). Sekar adalah perempuan dari golongan sudra yang memiliki paras serta tubuh yang indah. Namun, kehidupan Sekar tidak seindah tubuh dan parasnya, kemiskinan telah membelit keluarganya sehingga membuat kehidupannya begitu menderita. Untuk merubah nasibnya, Sekar berambisi untuk menjadi seorang penari sekehe jogged. Ambisinya pun tercapai, Sekar berhasil menjadi penari dan diidolakan banyak kaum lelaki. Sampai suatu saat seorang laki-laki bangsawan terpikat olehnya dan menjadikannya sebagai seorang istri. Dengan demikIan, Sekar telah menjadi seorang bangsawan dan harus membuang segala hal yang berkaitan dengan kesudraannya.

 

Perempuan kedua adalah neneknya, Ida Ayu Sagra Pidada. Ia adalah seorang perempuan bangsawan yang sangat cantik. Karena kecantikannya, banyak laki-laki yang menginginkan Sagra sebagai pendamping hidupnya. Namun, tidak satu pun laki-laki yang dapat menarik hati Sagra. Sampai akhirnya orang tuanya menjodohkan Sagra dengan laki-laki miskin. Karena karat kebangsawanan Sagra lebih tinggi dari suaminya, maka ia lebih berkuasa di rumah. Suami Sagra pun berambisi untuk menyetarakan derajatnya dengan Sagra. Seiring berjalannya waktu, Sagra mulai mencintai suaminya. Namun sayang, suami Sagra tidak pernah benar-benar mencintainya, bahkan ada rumor yang mengatakan bahwa suaminya memiliki hubungan gelap dengan seorang perempuan sudra dan telah memiliki seorang anak. Karena itu, Sagra selalu menasihati Telaga agar memilih laki-laki yang dapat memberikan cinta dan kasih agar cucunya itu tidak pernah merasakan penderitaan yang ia rasakan.

 

Perempuan ketiga yang berpengaruh dalam peta pembentukan Telaga sebagai seorang manusia yang utuh adalah Luh Kembren, guru tari pribadinya. Kambren digambarkan sebagai sosok perempuan yang memiliki seluruh kecntikan perempuan Bali ketika ia masih muda. Kambren adalah penari yang sangat berbakat dan telah tercatat dalam sejarah nasional. Penghargaan yang ia terima pun sangat banyak. Akan tetapi, penghargaan tersebut tidak pernah berbentuk materi sehingga kehidupan Kambren pun sangat jauh dari sejahtera. Kambren telah melihat berbagai kriteria laki-laki dalam hidupnya. Kambren tidak pernah merasa membutuhkan laki-laki dalam hidupnya, ia merasa bahwa laki-laki hanya menginginkan keelokan tubuhnya. Suatu saat, Kambren jatuh cinta dengan seorang seniman asing. Namun sayang, seniman tersebut menyukai sesama laki-laki, anehnya Kambren tidak dapat berhenti mencintainya. Karena itu, ia tidak pernah menikah hingga akhir hayatnya.

 

Ketiga perempuan tersebut adalah perempuan yang memiliki peran penting dalam kehidupan Telaga. Hingga akhirnya Telaga berani mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya yaitu menikahi Wayan Sasmitha, laki-laki sudra yang ia cintai selama bertahun-tahun. Pernikahan yang dilarang oleh adat tersebut membuat Telaga harus membuang semua atribut kebangsawanannya.

 

Seperti apa perempuan-perempuan ini membentuk pribadi Telaga? Apakah Telaga menyesal dengan keputusannya? Bagaimana kehidupan Telaga setelah menikahi laki-laki pilahan yang sangat dicintainya? Jawaban tersebut akan Anda dapatkan dengan membaca novel ciamik karya Oka Rusmini ini. Selamat membaca….