Komunikasi Produktif - Mengganti Kalimat Interogasi dengan Kalimat Observasi

Salah satu alasan mengapa saya sangat sulit melepas pekerjaan sebagai seorang guru adalah karena tempat tinggal kami sangat dekat dengan sekolah tempat saya mengajar. Hanya butuh dua menit berjalan kaki untuk sampai di sekolah. Dengan demikian, saya tetap dapat memantau anak-anak dan bisa pulang setiap jam istirahat untuk makan siang bersama atau sekedar memastikan keadaan di rumah terkendali.

Siang ini, saat jam istirahat, seperti biasa, saya pun pulang untuk istirahat makan siang. Belum sempat tangan ini membuka pintu, tiba-tiba PRANKKK… terdengan bunyi sesuatu – berbahan kaca – terbanting dan pecah. Tanpa ba bi bu lagi, saya langsung membuka pintu dan tadaaaa…

Saya mendapati tersangka utama masih berada di TKP sedang terkejut terhadap ulahnya sendiri. Tersangka itu diketahui bernama Faqih, usia 2 tahun 9 bulan yang terciduk menjatuhkan sebuah tutup panci kaca. Karena saya sudah cukup puas melihat tampang bersalah dan terkejut yang sangat jelas tergambar dalam raut wajah Faqih, maka saya urungkan niat hati ini untuk meratapi nasib si tutup panci. Dengan sigap, saya gendong Ia memasuki kamar dan mendelegasikan tugas membersihkan pecahan kaca yang berserakan kepada Abi. “Maaf ya Abi… umi mau praktik komunikasi” (sambil tersenyum manis dan manja hehehe)

Satu hal yang saya perhatikan, Faqih sudah mulai mengerti mana perbuatan yang salah dan yang benar atau sederhananya ia sudah dapat mengidentifikasi mana perbuatan yang membuat kami – orang tuanya – merasa senang dan tidak senang. Sehingga, setiap ia melakukan hal-hal yang kurang terpuji, gesture bersalahnya akan nampak sekali seperti menunduk, terkejut sendiri, lari ke dalam kamar, atau menutup mulut dengan kedua tangannya. Itulah yang saya maksud cukup puas dengan ekspresi bersalahnya kala menjatuhkan si tutup panci hingga berkeping-keping.

Setelah berada di kamar, saya pun memulai percakapan.

“Kakak kaget ya?...”

“Kaget” pekiknya setengah berteriak seakan senang sekali perasaanya terkonfirmasi.

“Sakit?”

Kali ini dijawab dengan gelengan kepala

“Umi… tutup jatoh…” ia berusaha untuk bercerita

“Iya kak, lain kali hati-hati ya…”

“Makasih Umiii” ungkapnya.

Loh kenapa Faqih berterima kasih ya? Saya pun menduga-duga, mungkin ia pikir saya akan marah dan berterima kasih karena ternyata saya tidak meninggikan suara atau ia berterima kasih karena saya sudah mencoba memahami apa yang ia rasakan?

Setelah mempelajari komunikasi produktif, saya memang jarang sekali marah. Karena saya mulai menyadari bahwa ketika marah, saya telah menebarkan energi negatif yang tidak ada faedahnya sama sekali. Ketika ada orang lain tidak melakukan apa yang saya inginkan, saya mulai merefleksikan diri, apakah gaya berkomunikasi saya sudah benar? Apakah saya sudah memberi intruksi dengan benar sehingga mereka mengerti apa yang saya maksud?

Ternyata dengan mengganti kalimat interogasi dengan kalimat observasi dapat membantu kita dalam mengolah emosi, karena kita dipaksa untuk memahami kondisi orang lain terlebih dahulu. Setelah orang lain menerima empati yang kita berikan, orang tersebut akan terbuka untuk menceritakan alasan mengapa ia berbuat seperti itu, saat alasan yang diberikan logis maka kita pun dapat memaklumi dan akhirnya dapat berpikir rasional. Ingat poin pertama dalam komunikasi produktif adalah dahulukan nalar daripada emosi. Jadi, benarlah salah satu hadis yang mengatakan “Janganlah marah maka bagimu surga”. Semangat berbahagia bunda pembelajar…