UNICEF: Lockdown Bisa Meningkatan Kasus Kematian pada Anak

Terutama pada negara-negara aberpenghasilan rendah dan menengah

31 Mei 2020

UNICEF Lockdown Bisa Meningkatan Kasus Kematian Anak
Pexels/Gustavo Fring

Semakin merebaknya kasus akibat virus Covid-19 membuat beberapa negara mengeluarkan kebijakan lockdown atau penutupan akses masuk maupun keluar suatu daerah yang terdampak. 

Namun, organisasi di bawah naungan PBB yang bergerak menanggulangi masalah anak-anak UNICEF menilai bahwa kebijakan lockdown kurang tepat. Bukannya efektif mengendalikan Covid-19, kebijakan lockdown  justru bisa meningkatan angka kematian anak hingga 45%.

Di negara Indonesia memang tidak menerapkan lockdown, pemerintah menggantinya dengan PSBB dan diatur oleh pemerintah daerah masing-masing.

Secara lebih lanjut, berikut informasi yang telah Popmama.com lansir dari laman Telegraph.co.uk terkait lockdown yang dilakukan di beberapa negara.

1. Lockdown bisa berakibat fatal

1. Lockdown bisa berakibat fatal
Pexels/Miguel Á. Padriñán

Dalam sebuah wawancara eksklusif Dr Stefan Peterson, kepala kesehatan UNICEF, memperingatkan bahwa lockdown yang diberlakukan pada banyak orang berpendapatan rendah dan menengah bukanlah cara yang efektif untuk mengendalikan Covid-19 dan bisa berakibat fatal.

"Tindakan lockdown sembarangan tidak memiliki efek optimal pada virus," katanya. Misalnya, saat sebuah keluarga diminta untuk tinggal di rumah atau di satu kamar daerah kumuh, tanpa makanan atau air.

Hal tersebut tidak akan membatasi penularan virus, justru mengancam kesehatan bahkan nyawa masayarakat. Maka, perlu tinjauan lebih lanjut karena tidak semua wilayah cocok dan siap dengan sistem lockdown

2. Memicu kasus kematian lebih banyak

2. Memicu kasus kematian lebih banyak
Pexels/August de Richelieu

Pemberlakuan sistem lockdown di beberapa negara yang kurang siap dapat mengakibatkan jumlah kasus akibat Covid-19 meningkat. 

Hal ini didukung oleh laporan yang diterbitkan dalam jurnal Lancet Global Health, dimana hampir 1,2 juta anak-anak dapat meninggal dalam 6 bulan ke depan karena gangguan layanan kesehatan dan persediaan makanan yang disebabkan oleh pandemi. 

Pemodelan tersebut, oleh para peneliti di Sekolah Kesehatan Publik dan Unicef ​​dari Johns Hopkins Bloomberg, menemukan bahwa angka kematian anak dapat naik hingga 45% karena gangguan terkait virus Covid-19, sementara kematian ibu dapat meningkat hampir 39%.

Dr Stefan Peterson menjelaskan, angka-angka ini sebagian merupakan cerminan dari pembatasan ketat di beberapa negara dunia.

Di mana sistem lockdown justru mencegah orang meninggalkan rumah untuk mengakses layanan perawatan kesehatan penting. 

3. Berpengaruh pada kesehatan dan ekonomi

3. Berpengaruh kesehatan ekonomi
Pexels/Nandhu Kumar

Di beberapa negara, masyarakat juga menghindari rumah sakit dan pusat kesehatan karena takut terjangkit Covid-19 dan layanan kesehatan juga dialihkan untuk fokus pada pandemi.

Selain itu, kampanye vaksinasi melawan penyakit termasuk campak juga telah terganggu. Setidaknya 117 juta anak di seluruh dunia kemungkinan kehilangan imunisasi rutin tahun ini.

Dampak di bidang ekonomi juga sangat terasa sehingga dapat memicu peningkatan kemiskinan dan kekurangan gizi.

Terutama pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. 

"Covid-19 bukan penyakit anak-anak. Meskipun ada beberapa kejadian langka dan kami melihatnya dipublikasikan di media. Tapi kasus pneumonia, diare, campak, kematian saat melahirkan inilah yang mungkin dapat meningkat akibat lockdown," jelas Dr Peterson.

Untuk itu, Dr Peterson mendesak negara-negara untuk tidak memaksakan lockdown, tetapi sebaiknya fokus mengidentifikasi zona merah dan mengambil tindakan dengan pembatasan regional saja. 

The Latest