Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
mama menenangkan anak perempuan
Freepik

Intinya sih...

  • “It’s Okay” sering tak membantu, kalimat ini justru menutup komunikasi.

  • Modelkan kata dan kalimat yang bisa mereka gunakan.

  • Validasi dan narasikan perasaan mereka agar belajar mengekspresikan emosi.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Saat anak menangis, marah, atau terlihat frustrasi, banyak orangtua secara otomatis berkata, “tidak apa-apa.” Kalimat ini terdengar menenangkan dan penuh niat baik. Namun dalam praktik terapi wicara dan perkembangan komunikasi anak, ungkapan tersebut sering kali justru kurang membantu.

Anak tidak selalu merasa “baik-baik saja”. Ketika perasaan mereka besar dan intens, respons orang dewasa sangat menentukan apakah komunikasi akan terbuka atau justru tertutup.

Berikut Popmama.com bagikan beberapa pendekatan yang lebih komunikatif agar Mama stop menenangkan anak dengan "It's Okay", ini cara yang lebih efektif!

1. Mengapa "It's Okay" tidak selalu membantu?

Freepik

Ketika anak sedih atau marah, mengatakan “it’s okay” sering kali tidak sesuai dengan apa yang mereka rasakan. Anak mungkin sedang kecewa, kesal, atau frustasi, dan mereka tahu perasaan itu nyata.

Masalahnya, kalimat “it’s okay” bisa terasa seperti meniadakan emosi tersebut. Anak belajar bahwa perasaan tidak nyaman seolah harus segera dihentikan, bukan dipahami. Akibatnya, komunikasi bisa terhenti karena anak merasa tidak perlu atau tidak aman untuk mengekspresikan perasaannya.

Alih-alih menenangkan, kalimat ini justru bisa membuat anak menarik diri, menangis lebih keras, atau menunjukkan perilaku lain karena merasa tidak dipahami.

2. Menjadi contoh kata yang bisa digunakan anak

Freepik

Anak tidak selalu tahu bagaimana mengungkapkan kebutuhan atau emosinya. Karena itu, orang dewasa perlu membantu menamai dengan kata dan kalimat yang bisa mereka tiru.

Daripada hanya menenangkan, bantu anak dengan memberi mereka bahasa. Contoh kalimat sederhana yang dapat digunakan, berupa:

  • “Tolong bantu aku”

  • “Aku mau minum”

  • “Aku mau yang itu”

  • “Sudah selesai”

  • “Aku tidak mau”

  • “Aku capek”

  • “Aku marah”

  • “Aku sedih”

Dengan mendengar kalimat-kalimat ini berulang kali dalam konteks nyata, anak belajar apa yang bisa mereka katakan di situasi serupa di lain waktu. Ini membantu mengurangi ledakan emosi karena anak punya alat komunikasi yang lebih jelas yaitu berbicara dengan asertif.

3. Menarasikan apa yang mungkin anak inginkan dan rasakan

Freepik

Anak di bawah usia 5 tahun masih terbatas kosa kata. Maka, Mama dan Papa bisa membantu dengan menyuarakan apa yang mungkin sedang mereka coba sampaikan. Misalnya:

  • "Kamu mau gelas yang merah."

  • "Kamu tidak suka yang ini."

  • "Kamu kesal karena mainannya rusak."

  • "Kamu ingin lanjut main."

  • "Sakit ya, lukanya."

Cara ini mengajarkan kata-kata yang mungkin belum bisa mereka ucapkan sekaligus menunjukkan bahwa orangtua memahami dan mengakui perasaan mereka.

4. Memvalidasi perasaan anak

Freepik

Validasi bukan berarti menyetujui perilaku negatif, tetapi mengakui perasaan yang ada. Memberi label emosi membantu anak memahami apa yang mereka rasakan dan belajar mengekspresikannya.

Contoh kalimat validasi:

  • “Kamu sedih, ya?”

  • “Kamu marah karena mainannya rusak.”

  • “Kamu belum puas dan belum mau pulang ya? Mainnya 5 menit lagi, ya?”

Dengan mendengar penamaan emosi, anak belajar bahwa perasaan mereka wajar dan bisa diungkapkan dengan kata-kata, bukan hanya tangisan atau amukan.

5. Gunakan kalimat pendek dan tenang

Freepik

Saat emosi anak sedang besar, kemampuan mereka memproses bahasa juga menurun. Kalimat panjang justru sulit dipahami.

Gunakan frasa pendek dan menenangkan seperti:

  • “Kamu aman.”

  • “Aku di sini.”

  • “Kita cari jalan bersama.”

Bahasa yang sederhana dan tenang membantu menjaga komunikasi tetap jelas di tengah emosi yang intens.

6. Beri waktu untuk anak berkomunikasi

Freepik

Setelah berbicara, beri jeda sekitar 3–5 detik. Jangan langsung mengisi keheningan.

Jeda ini memberi kesempatan bagi anak untuk merespons, entah lewat kata, gerakan, tatapan, atau suara, bahkan ketika mereka masih menangis. Banyak orang tua tidak sadar bahwa anak sebenarnya membutuhkan waktu lebih lama untuk memproses dan merespons.

7. Berikan pilihan

Freepik

Pilihan sederhana memberi anak rasa kontrol dan membantu menurunkan rasa kewalahan.

Contohnya:

  • “Mau duduk sama Mama atau sendiri dulu?”

  • “Mau peluk atau tidak dulu?”

Dengan pilihan, anak tetap merasa didengar tanpa harus memaksakan satu respons tertentu.

8. Gunakan bahasa yang konsisten dan bisa diprediksi

Freepik

Gunakan kalimat yang sama setiap kali emosi anak membesar, misalnya:

  • “Kamu marah. Aku bisa bantu.”

Bahasa yang konsisten menciptakan rasa aman. Anak tahu apa yang akan didengar dan apa yang bisa diharapkan. Rasa aman ini membantu otak anak memproses emosi dan bahasa dengan lebih baik.

9. Emosi besar adalah kesempatan belajar

Freepik/Stockking

Momen saat anak sedih atau marah bukan waktu untuk menghentikan komunikasi, melainkan kesempatan untuk membangun koneksi dan keterampilan berbahasa.

Dengan mengganti “it’s okay” menjadi bahasa yang mengakui, mendukung, dan mengajarkan, maka anak belajar mengenali perasaannya, mengungkapkan kebutuhan, dan mengatur emosinya secara bertahap.

Saat anak marah atau sedih, “it’s okay” bisa terasa meremehkan karena mereka memang tidak merasa baik-baik saja. Dengan memvalidasi perasaan dan memodelkan bahasa yang jelas dan sederhana, orang tua sedang mengajarkan anak apa yang bisa mereka katakan di lain waktu, bukan sekadar menenangkan sesaat.

Editorial Team