Cooperative play atau bermain kooperatif muncul segera setelah tahapan bermain asosiatif dan mewakili permainan kelompok sosial yang terikat penuh.
Selama tahap ini, Mama akan melihatsi Kecil bermain bersama dan berbagi permainan yang sama dengan anak-anak lain. Mereka akan memiliki tujuan yang sama, saling menugaskan peran dalam permainan, dan berkolaborasi untuk mencapai tujuan permainan yang telah ditetapkan.
Tahap ini merupakan pencapaian sosialisasi, tetapi keterampilan sosial masih akan berkembang. Balita mama mungkin memerlukan dukungan, latihan yang terbimbing, dan alat untuk membantunya mengembangkan keterampilan sosial yang positif seperti berbagi, berkompromi, dan bergiliran.
Karakteristik utama cooperative play meliputi:
- Anak bekerja sama dalam permainan bersama, atau berbagi tujuan yang sama selama bermain.
- Anak memiliki peran tim selama bermain.
- Mungkin ada unsur kompromi dan pengorbanan untuk kebaikan bersama dalam permainan.
Contoh cooperative play antara lain:
- Permainan imajinatif, di mana anak-anak saling mengambil peran karakter film favorit untuk memerankan sebuah adegan atau membuat adegan baru.
- Permainan papan dimana anak-anak harus bergiliran agar permainan dapat berjalan sesuai dengan aturan bersama.
- Olahraga yang terorganisir.
Bermain kooperatif didukung oleh teori pembelajaran konstruktivis sosial. Ahli teori kunci dari pendekatan ini termasuk Barbara Rogoff dan Lev Vygotsky. Ide utama dalam teori ini adalah interaksi sosial membantu anak untuk maju dalam pemikirannya.
Ketika anak mendiskusikan berbagai hal dalam kelompok, ia dapat melihat ide dari perspektif yang berbeda, dan idenya sendiri yang ditantang atau disempurnakan.
Nah itulah enam tahap bermain pada anak-anak sejak usia dini, yang dapat dikuasai secara linier (satu demi satu), atau menguasai satu jenis tahapan.
Dengan kata lain, meskipun balita telah menguasai bermain kooperatif, Mama mungkin masih mengamatinya terlibat dalam bermain paralel.
Meskipun tahapan bermain ini dapat bermanfaat bagi pendidik dan orangtua, ingatlah bahwa anak yang berbeda memiliki preferensi bermain yang berbeda. Dengan kata lain, gunakan tahapan ini sebagai bentuk pembelajaran anak, bukan untuk melihat apakah anak "normal"atau tidak.