Menyebut kata kasar sebagai “kata buruk” mungkin terdengar wajar bagi orang dewasa, tapi bagi anak-anak, labeling kata-kata seperti itu bisa menimbulkan rasa penasaran, rasa malu, atau bahkan dorongan untuk mengulanginya.
Maka, pendekatan yang lebih bijak adalah tidak langsung melabeli, melainkan mengarahkan dan menjelaskan dengan cara yang lebih konstruktif.
Jika anak langsung diberi label bahwa kata itu buruk atau dilarang keras tanpa penjelasan yang tepat, anak bisa merasa tertekan atau bahkan penasaran untuk terus mengucapkannya sebagai bentuk tantangan.
Saat Mama tidak menyebut kata tersebut sebagai kata buruk, Mama membuka kesempatan untuk berdialog dan memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang arti kata itu dan dampaknya terhadap perasaan orang lain.
Contoh jika anak bicara "Anjing kau" yang diarahkan pada orang lain.
Maka contoh kalimat yang bisa Mama katakan adalah:
"Anjing itu lucu dan menggemaskan, tapi ada juga yang seram dan galak. Anjing itu hewan, tidak boleh ditujukan ke orang lain. Tidak pas, itu namanya tidak betul ya, Nak", dengan nada tenang.
Cara ini membantu anak belajar secara sadar dan empati, bukan hanya karena takut atau diperingatkan.
Menghadapi anak yang berkata kasar memang membutuhkan kesabaran, ketenangan, dan pendekatan yang tepat dari Mama.
Penting untuk menghindari reaksi berlebihan seperti marah atau mengejek agar anak tidak merasa perlu mengulangi kata kasar tersebut untuk menarik perhatian.
Memberikan penjelasan dengan bahasa yang sederhana dan positif, mengajarkan empati, serta mengubah kata-kata kasar menjadi ungkapan yang lebih baik dapat membantu anak belajar mengekspresikan perasaan dengan cara yang lebih sopan dan efektif.