Hari pun berganti dan Nyai Endit masih merasa tidak nyaman atas kedatangan pengemis lusuh di pestanya kemarin. Ketika ia keluar dari rumah, ia pun menemukan sesuatu yang aneh.
Di sebuah jalan di desa tersebut ditemukan sebuah tongkat yang tertancap di tanah. Tidak ada satupun warga yang mengetahui mengapa tongkat tersebut ada di sana.
Lebih anehnya lagi tidak ada seorangpun yang berhasil mencabut tongkat tersebut, meskipun banyak warga yang telah mencoba menariknya beramai-ramai. Nyai Endit yang terlihat penasaran berusaha mendekati kerumunan warga yang tengah mencoba menarik tongkat tersebut.
Tanpa diduga ternyata pengemis yang Nyai Endit usir sebelumnya kembali. Melihatnya Nyai Endit pun kembali merasa geram.
Nyai Endit segera berkata, "Rupanya kau kembali pengemis tua. Jangan-jangan tongkat aneh yang tertencap di tanah ini itu akibat ulahmu. Cabut dan segera pergi dari sini!"
Pengemis tua itu melihat Nyai Endit dan ia pun mengabulkan permintaannya. Sang pengemis tua segera mencabut tongkat tersebut. Warga pun terheran mengapa pengemis itu mampu melakukannya padahal tidak ada warga yang mampu.
Setelah dicabut, tiba-tiba saja mengalirlah air dari tempat tersebut. Semakin lama air semakin deras dan tinggi, memenuhi tempat itu.
Karena takut tenggelam, para penduduk pun bergegas menyelamatkan diri mereka sendiri. Mereka mengungsi mencari tempat yang lebih aman.
Berbeda dengan Nyai Endit yang engga melepas hartanya. Meskipun air semakin bertambah tinggi, Nyai Endit tetap beridam di rumahnya yang penuh dengan harta dan perhiasan. Hingga akhirnya ia pun tenggelam bersama rumah dan isinya.
Tempat tersebut berubah menjadi sebuah danau yang kemudian dinamakan Situ Bagendit. Situ artinya danau dan Bagendit berasal dari nama Nyai Endit.
Menurut cerita, konon orang-orang percaya mereka melihat lintah yang sebesar kasur di dasar danau. Katanya itu merupakan penjelmaan sosok Nyai Endit yang tidak berhasil kabur dari jebakan air.