Jumlah Daerah KLB Difteri Menurun, Pemerintah Lanjutkan Vaksinasi

Pemerintah : Anak-anak wajib mendapatkan vaksin difteri lengkap

12 Januari 2018

Jumlah Daerah KLB Difteri Menurun, Pemerintah Lanjutkan Vaksinasi
Popmama/Ajeng Rahayu

Difteri masih menjadi perbincangan serius di awal tahun 2018 di berbagai kalangan. Perlu Mama ketahui bahwa kasus penyakit yang disebabkan bakteri corynebachterium diptheriae ini terus bertambah di awal Januari.

Data Kementerian Kesehatan RI per 1-9 Januari 2018 mencatat ada 14 kasus baru yang terjadi di 11 Kabupaten/Kota di 4 Propinsi di Indonesia, yang memang sebelumnya sudah berstatus KLB yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Lampung.

Angka tersebut menambah jumlah kasus difteri yang terjadi selama November-Desember 2017 yaitu 954 kasus di 170 Kabupaten/Kota di 30 Propinsi, 44 diantaranya meninggal. Meski begitu, per 9 Januari 2018, Kementerian Kesehatan mengklaim bahwa 85 Kabupaten/Kota yang sebelumnya berstatus KLB sudah aman karena tidak ditemukannya kasus baru.

“Dari spesimen yang masuk 70% tidak diketemukan suspect difteri, hanya 7%. Kalau klinis mencurigai, tetap dilakukan penanganan,” kata Menteri Kesehatan Nila Moeloek dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta Pusat (12/01) dengan tema Imunisasi, Difteri, dan Gerakan Anti Vaksin.

Meski begitu pemerintah terus gencar melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) dengan melakukan pemberian vaksin difteri. Sebelumnya pada Desember 2017, Kementerian Kesehatan telah melakukan vaksinasi difteri tahap 1 pada derah KLB dengan target anak-anak dari 1-19 tahun.

Orang dewasa yang berpotensi terjangkit yaitu yang pernah berhubungan langsung dengan pasien juga wajib mendapatkan vaksinasi difteri. Januari 2018, pemerintah akan kembali melakukan ORI sebagai upaya menekan penyebaran bakteri difteri.

“Imunisasi tetap kita lanjutkan, jalan terus untuk memastikan kondisi badan kita selalu imun,” tegas Meneteri Kesehatan RI Nila MoeloekPT Bio Farma yang memroduksi vaksin difteri di Indonesia pun tahun 2018 menambah produksi vaksin dari 15 juta menjadi 19,5 juta vial. Kementerian Kesehatan pun menargetkan 90% pencapaian ORI di bulan Januari.

“Sekarang sudah hampir 65,12% di 3 Propinsi (DKI Jarta, Jawa Barat, Banten) kita lakukan imunisasi. Diharapkan pada Januari bisa 90%. Kalau sebagian besar sudah diimunisasi diharapkan pertahanan dari masyarakat kita sudah kuat,” tambah Nila Moeloek.

Seiring usaha Kementerian Kesehatan RI “melawan” penyebaran difteri, pemerintah juga dihadapkan pada kelompok yang menolak vaksin. Salah satu isu besarnya adalah kehalalan dari vaksin itu sendiri.

Menurut Sekretaris Satgas Imunisasi Dokter Indonesia Soedjatmiko, gerakan penolakan vaksin semakin banyak terjadi. Banyak alasan yang diungkapkan mulai dari halal-haramnya, kandungan zat berbahaya, sampai sakit setelah vaksin.

“Dua puluh enam penelitian tentang vaksin, tidak ada yang menyimpulkan kalau penggunaannya menyebabkan autis dan penyakit lainnya. Kalau demam dan bengkak, itu kan memang efek daripada vaksin dan akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari,” terang Dr. Miko yang merupakan dokter spesialis anak.

Dr. Miko juga memaparkan bahwa penderita difteri terbanyak disebabkan tidak mendapatkan vaksin sama sekali, yaitu sebanyak 66%, sisanya karena imunisasi tidak lengkap 31%, dan yang mendapatkan imunisasi lengkap hanya 3 %. Pasien difteri terbanyak adalah anak-anak usia 5-9 tahun yaitu 33%.

Sementara, menanggapi soal halal-haramnya vaksin difteri, Direktur Utama PT Bio Farma, Juliman mengatakan bahwa vaksin difteri yang diproduksi tidak terbuat dari babi. “Kita nggak pakai enzim dari hewan itu. Tapi soal menentukan halal-haramnya itu wewenang dari MUI,” Terang Juliman.

Tidak hanya di Indonesia, PT Bio Farma juga memroduksi vaksin untuk diekspor ke 136 negara lain, termasuk negara mayoritas muslim. Tapi, dengan adanya KLB difteri, produsen vaksin milik pemerintah ini menghentikan pengirimannya untuk sementara, demi memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Tanggapan soal gerakan antivaksin juga datang dari Deputi 2 Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho bahwa menanggapi isu ini perlu koordinasi lintas kementerian dan lembaga untuk menanggulangi gerakan semakin  masif. “Ancaman kesehatan telah menjadi fokus utama oleh sejumlah negara di dunia. Untuk itu dalam hal ini, bagaimana caranya pemerintah mewajibkan masuk sekolah atau pesantren dengan salah satu syarat kartu kesehatan dan imunisasi. Apapun ancaman itu akan ‘kalangkabut’ kalau tidak ada koordinasiyang baik,” tegas Yanuar.

Di tempat terpisah, salah satu orangtua yang tidak memberikan vaksin pada anaknya, lebih memilih cara tradisional dengan herbal untuk menjaga kekebalan tubuh Si Anak. Salah satu caranya dengan memberikan kurma dan madu sejak anaknya lahir hingga usia 2 bulan. Karyawati perusahaan swasta di Jakarta ini adalah salah satu yang khawatir soal kehalalan dari vaksin pemerintah. “Kekhawatiran saya adalah soal kehalalan vaksin. Halal-haramnya belum jelas, soal komposisi maupun cara pembuatannya,” kata Mama Hanan.

The Latest