Meskipun sudah dibolehkan nantinya, penyelenggara harus memperhitungkan kondisi kasus Covid-19 di area tempat kegiatan berlangsung.
Apakah ada potensi penularan selama kegiatan, durasi kegiatan, tata kelola ruangan, jumlah partisipan, serta kemungkinan peserta belum divaksinasi Covid-19.
"Penyelenggaraan juga harus didukung kesiapan yang matang, serta komitmen tinggi penyelenggara dalam mengutamakan kesehatan dan keselamatan setiap orang yang terlibat, mengingat risiko penularan bakal meningkat jika ada interaksi antar manusia dalam kerumunan," tuturnya.
Sementara, epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menilai rencana pemerintah ini tergolong buru-buru.
Rencana izin penyelenggaraan konser dan resepsi pernikahan ini dinilai bekum pas, dikarenakan penurunan kasus Covid-19 baru berlangsung sebentar.
"Di kita ini kondisi membaik sedikit tapi longgarnya lebih banyak. Padahal, (situasi) membaiknya hanya sedikit di wilayah, tapi pelonggaran pembatasannya di semua wilayah. Ini berbahaya dan menantang maut, varian Delta yang saat ini masih mendominasi di Indonesia," ungkap Dicky kepada IDN Times via pesan bersuara.
Bahkan katanya situasi itu bisa lebih cepat memburuk karena cakupan vaksinasi di Indonesia masih tergolong rendah. Angkanya masih di bawah 30 persen.
Cakupan vaksinasi Indonesia menurutnya masih sangat jauh bila dibandingkan Singapura yang sudah memberikan vaksin lengkap ke 82 persen penduduknya.
Negeri berlogo singa tersebut, lebih siap mengatasi lonjakan karena kemampuan testing-nya dua kali lipat dibandingkan Indonesia.
"Alih-alih buru-buru memberikan izin untuk acara berskala besar, pemerintah sebaiknya menunggu lebih lama, setidaknya empat minggu," ungkap Dickyemberikan usul agar pemerintah belajar dari kemunculan klaster Pembelajaran Tatap Muka (PTM).
"Karena terjadi kontradiksi data dengan klaster PTM di sekolah," tutupnya.