KPPPA: Perempuan dan Anak Rentan Alami Kekerasan Pasca Bencana

Harus ada standar yabg bisa menjadi pegangan untuk menjaga hak perempuan dan anak pasca bencana

25 Agustus 2018

KPPPA Perempuan Anak Rentan Alami Kekerasan Pasca Bencana
siraplimau.com

Dalam situasi bencana, baik laki-laki maupun perempuan, baik dewasa atau anak-anak, semuanya memiliki kerentanan untuk menjadi korban. 

Hasil analisis dari London School of Economics (2008), di 141 negara menunjukkan bahwa, pada setiap bencana, korban perempuan empat kali jauh lebih besar dari pada korban laki-laki.  

Pada peristiwa tsunami Aceh pada tahun 2004, korban meninggal perempuan angkanya jauh lebih besar daripada korban meninggal laki-laki, bahkan perbedaannya mencapai empat kali lipat.

Karena kondisi letak geografisnya di Indonesia, maka secara demografis rawan terhadap terjadinya bencana dengan frekuensi yang cukup tinggi. Hal ini membuat negara kita memerlukan penanganan yang sistematis dan terkoordinasi.

Faktor yang meningkatkan risiko kekerasan

Faktor meningkatkan risiko kekerasan
huffingtonpost.com

Berdasarkan pengalaman dalam respon bencana di Indonesia, ada beberapa faktor yang memberi kontribusi pada peningkatan risiko kekerasan berbasis gender pada fase respon bencana, diantaranya: 

  1. Selama proses evakuasi, anggota keluarga terpisah dari keluarganya. Kelompok rentan seperti perempuan, gadis remaja, dan anak seringkali terpisah dari keluarganya. Sistem perlindungan sosial masyarakat juga terganggu sehingga mereka tidak bisa melindungi satu sama lain. 
  2. Pengungsi harus tinggal di kamp yang sangat padat dengan sistem keamanan yang terbatas, fasilitas mandi dan WC umum yang tidak memadai dan kurang menjaga privasi. 
  3. Tidak tersedianya fasilitas ruang privasi untuk melanjutkan kehidupan seksual yang sehat bagi pasangan suami istri, sehingga kebutuhan tidak tersalurkan dan dapat memicu tindakan kekerasan seksual. 
  4. Lokasi, jenis, dan lama waktu pengungsian juga berkontribusi terhadap meningkatnya risiko kekerasan berbasis gender, terutama oleh pelaku oportunis yang memanfaatkan situasi dengan kondisi keamanan yang minimal atau terbatas.
  5. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan fasilitas untuk mandi, mencuci, bahan untuk menjaga kebersihan, tidak adanya listrik di sebagian besar daerah yang terkena dampak bencana, terganggunya keamanan pangan, dan hilangnya mata pencaharian sekaligus kerentanan ekonomi. Terganggunya mata pencaharian khususnya bagi laki-laki akan memicu tindakan kekerasan oleh laki-laki. 
  6. Bantuan kemanusian yang tidak sensitif gender yang tidak mempertimbangkan kebutuhan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki termasuk kebutuhan untuk anak. 

Hal ini karena kurangnya pemahaman dari pekerja kemanusiaan tentang pentingnya pendekatan gender di dalam memberikan bantuan kepada masyarakat yang terkena dampak bencana. Pada umumnya keterlibatan dan partisipasi perempuan pada perencanaan dan pemberian bantuan kemanusiaan adalah sangat terbatas. 

Tidak hanya berhenti di situ, faktor ekonomi juga turut menempatkan perempuan pada posisi yang sangat sulit.

Pada situasi pasca-bencana, perempuan dan anak perempuan kerap dipaksa untuk melakukan hal yang tidak sepantasnya demi mendapatkan makan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

Solusi dari Kementrian PPPA

Solusi dari Kementrian PPPA
Dok. KPPPA

Saat ini KPPPA sedang menyusun Pedoman Perlindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan berbasis Gender Dalam bencana. Tujuan penyusunan pedoman ini adalah: 

Adanya langkah-langkah standar dalam memberikan perlindungan perempuan dari kekerasan berbasis gender di situasi bencana. 

Memudahkan petugas dan pengelola bencana dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan berbasis gender.

Pada penanganan bencana di Lombok juga untuk mencegah kasus kekerasan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah meluncurkan pos ramah perempuan dan anak di Lombok. Pos itu akan melayani pengaduan pelanggaran hak-hak anak dan perempuan selama 24 jam.

The Latest