Pada saat ini (2022), bahwa Sri Lanka menjadi salah satu negara yang sedang alami kebangkrutan. Secara khusus disebabkan oleh utang yang menumpuk dan tidak mampu membayarnya.
Padahal sebelumnya, perekonomian Sri Lanka ditopang oleh pendapatan ekspor dan sektor pariwisatanya. Hasil dari devisa kemudian digunakan untuk mengimpor bahan makanan pokok. Kondisinya menempatkan cadangan devisa di bawah tekanan, karena alasan ini Sri Lanka sering mengalami krisis neraca pembayaran.
Selain itu, sejak 1965 dan seterusnya Sri Lanka memperoleh 16 kali pinjaman dari The International Monetary Fund (IMF). Namun dalam situasi ekonomi yang merosot, Sri Lanka membutuhkan lebih banyak dana untuk menyuntikkan stimulus ke dalam perekonomian.
IMF kemudian menggelontorkan lebih banyak pinjaman. Sayangnya, ekonomi yang tak kunjung membaik justru membuat Sri Lanka menanggung beban utang hingga terjadi krisis dan inflasi.
Dikutip dari CNBC, hutang publik Sri Lanka tidak berkelanjutan dan negara tersebut perlu mengambil langkah-langkah untuk memulihkan keberlanjutan utang sebelum pinjaman IMF.
Termasuk Instrumen Pembiayaan Cepat (RFI) darurat. Pemulihan kesinambungan utang biasanya memerlukan restrukturisasi. Dalam kasus Sri Lanka, ini akan membutuhkan kerja sama dari China yang menjadi salah satu kreditur bilateral terbesarnya.