Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
Freepik
Freepik

Di era modern ini, bukan hal tabu bagi perempuan untuk menempati posisi-posisi strategis manajerial di sektor publik maupun swasta. Dalam susunan manajemen perusahaan ataupun organisasi, perempuan memiliki kesempatan yang sama, seperti halnya laki-laki, untuk menduduki posisi strategis atau pimpinan.

Namun, pada realitanya perempuan masih banyak menghadapi berbagai tantangan, bahkan diskriminasi.

Masih ada perempuan yang mengalami hambatan untuk meraih posisi strategis atau pimpinan dalam suatu perusahaan ataupun organisasi. Hal ini bisa disebut glass ceiling.

Lantas, seperti apakah fenomena glass ceiling dan faktor apa saja yang melatarbelakangi fenomena tersebut? Simak ulasan Popmama.com berikut ini.

1. Apa itu glass ceiling?

Freepik/javi_indy

Jika diartikan secara harfiah, glass ceiling berarti sebuah batasan. 

Glass ceiling merupakan hambatan atau halangan yang tak terlihat yang membatasi perempuan untuk maju, seperti menempati posisi tertinggi atau memiliki jabatan tinggi di sebuah organisasi atau perusahaan.

Hambatan ini menyebabkan perempuan lebih sulit berkembang maju dalam bidang pekerjaan, berbeda dengan laki-laki yang lebih mudah memosisikan diri pada posisi strategis. Akibatnya, perempuan lebih canggung dalam meningkatkan jenjang kariernya.

Meskipun para perempuan memiliki visi yang jelas untuk mengembangkan karier yang lebih tinggi tetapi mereka kerap sulit mencapai target itu dan berhenti di jabatan level menengah.

2. Stigma atas ambisi atau cita-cita bagi perempuan merupakan salah satu bentuk glass ceiling

Freepik

Tidak sedikit perempuan yang berambisi mencapai, melakukan, atau merealisasikan cita-cita. Alih-alih mendapat dukungan untuk mewujudkan cita-cita mereka, hal itu justru dianggap tabu.

Chief Marketing Officer Investree, Astranivari, adalah salah satu perempuan yang pantang menyerah kepada stigma tersebut. Ia pun membuktikan cita-citanya dalam berkarier.

"Saya cukup ambisius sebagai perempuan. Kalau sudah berkeinginan, saya akan mencoba sekuat tenaga. Tidak ada yang tidak mungkin dicapai dan dilakukan jika kita (perempuan) mau," ujar Astranivari dalam webinar Women Leaders Forum 2002 bertema "Breaking The Glass Ceiling", Selasa (8/3/2022).

"Tak ada yang tidak bisa kita lakukan kalau kita mau. Bagi perempuan di luar sana, jangan biarkan orang lain mendeterminasi nasib kita," lanjutnya.

Astranivari menambahkan, ada banyak aspek yang memengaruhi resiliensi seorang perempuan, khususnya di dunia kerja. Lingkungan adalah salah satunya.

Faktor ini bisa menjatuhkan tetapi juga dapat menjadi sumber penguatan jika di dalamnya ada sistem dukungan yang tepat.

3. Masalah stereotip menjadi hambatan tersendiri bagi perempuan untuk menjadi pemimpin di suatu perusahaan

Freepik

Dalam kesempatan yang sama, Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita mengatakan, masih kentalnya budaya kepemimpinan paternalistik, baik di Indonesia maupun secara global, serta masalah stereotip juga menjadi hambatan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin di suatu perusahaan.

Perempuan dianggap kurang bisa mengaktualisasi diri sehingga jadi penghambat untuk memperoleh promosi. Perempuan juga dianggap cenderung lebih sulit membangun jaringan dan relasi.

Selain itu, perempuan sering dianggap lebih baik berdiam diri di rumah sebagai ibu rumah tangga daripada bekerja di suatu perusahaan.

Menurut Maya, stereotip yang paling parah adalah kedudukan perempuan dipandang lebih rendah daripada laki-laki. Ia mengatakan, anggapan-anggapan seperti itu masih dirasakan atau berlaku di lingkungan perusahaan, secara sadar maupun tidak sadar.

Posisi-posisi atau nilai-nilai kepemimpinan di suatu perusahaan sering dikaitkan dengan maskulinitas dan laki-laki. Perempuan dianggap tidak punya tempat karena tidak memiliki nilai-nilai yang selama ini dimiliki laki-laki.

"Itu sumber masalahnya kalau kita bicara tentang apa yang terjadi dengan fenomena ketimpangan gender atau glass ceiling," ucap Maya.

4. Perempuan dihadapkan pada konflik tanggung jawab antara keluarga dan perusahaan

Freepik/tirachardz

Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita melanjutkan, perempuan juga dihadapkan pada konflik tanggung jawab antara keluarga dan perusahaan. Apalagi di saat pandemi Covid-19 menjadi semakin berat karena selain harus mengurus rumah tangga, perempuan juga harus mengurus anak yang bersekolah dari rumah.

Perempuan dianggap tidak bisa bekerja secara maksimal karena harus membagi fokus antara pekerjaan dan keluarga.

Kalau perempuan maju atau sukses, rumah tangganya dianggap berantakan. Sebaliknya, kalau perempuan tidak mencoba untuk maju, maka akan merasa tidak bisa mengaktualisasikan dirinya.

"Banyak faktor terkait dengan fenomena glass ceiling tapi faktor lingkungan sangat berpengaruh kenapa perempuan tidak bisa mencapai puncak pimpinan tertinggi," ujar Maya.

5. Strategi menembus fenomena glass ceiling di perusahaan

Freepik/pressfoto

Menembus glass ceiling adalah hal yang tidak mudah tetapi bukan berarti tidak mungkin dilakukan.

Laporan Grand Thornton pada 4 Maret 2021 menunjukkan, bahwa banyak perempuan yang menjabat posisi senior di perusahaan dalam skala global.

Direktur HR (Sumber Daya Manusia) merupakan posisi senior yang paling banyak diduduki perempuan pada 2021, yakni mencapai 38 %. Lalu, sebanyak 36 % perempuan menduduki jabatan sebagai Chief Finance Officer (CFO). Diikuti posisi Chief Executive Officer (CEO) mencapai 26 %.

Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita berpendapat, mengubah realita ketimpangan gender memang sulit. Namun, bukan berarti tidak ada yang bisa diupayakan.

Menurutnya, salah satu strategi menembus fenomena glass ceiling di perusahaan, yakni dengan menghubungkan dalam kepentingan ekonomi.

"Selama ini kalau kita bicara soal isu kesetaraan gender atau isu perempuan itu masih dibawa ke dalam isu sosial, belum dibawa ke isu ekonomi. Kalau kita bawa itu ke isu ekonomi sebetulnya lebih relevan. Misalnya, bagaimana perusahaan berinvestasi pada perempuan dan punya pemimpin perempuan yang berpotensi meningkatkan kinerja bisnis," tegasnya.

Itulah seputar glass ceiling yang perlu diketahui. Untuk menghadapi fenomena glass ceiling ini, perempuan lebih berani dan percaya diri menunjukkan kinerjanya agar atasan juga dapat melihat bahwa ia mampu untuk menempati posisi yang lebih tinggi di perusahaan.

Penting juga untuk memperluas relasi (network) karena dengan memperluas relasi, semakin luas pula peluang untuk dapat membangun karier bahkan mungkin membangun bisnis baru.

Selain itu, selalu meminta feedback kepada atasan ataupun rekan tim atas pekerjaan yang telah dilakukan, ikut serta dan aktif dalam project-project di pekerjaan dan mencari mentor yang dapat mendukung dan berbagi ilmu serta pengalaman.

Tak bisa dimungkiri, glass ceiling adalah fenomena harus segera dihilangkan. Siapapun berhak mendapat jabatan tertinggi sesuai kemampuan, bukan?

Editorial Team