Dalam sebuah jawaban dari lembaga Bahtsul milik Masail Nahdlatul Ulama (NU) oleh Alhafiz Kurniawan, fenomena ini dapat dilihat dari dua sisi.
Pertama adalah melihat fenomena ini dari sisi uang dimana penukaran uang yang kelebihan akan masuk menjadi kategori riba.
"Praktik ini dapat dilihat dari dua sudut. Kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang itu (ma'qud 'alaih) adalah uangnya, maka penukaran uang dengan kelebihan jumlah tertentu jelas haram karena praktik ini terbilang kategori riba," tulisnya.
Kedua adalah melihat fenomena ini dari sisi jasa orang yang menyediakan layanan, maka hal ini masuk menjadi kategori ijarah yang merupakan salah satu jenis jual beli berupa jasa dalam Islam. Dalam hal ini hukumnya menjadi mubah.
"Tetapi kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang ini (ma'qud 'alaih) adalah jasa orang yang menyediakan jasa, maka praktik penukaran uang dengan kelebihan tertentu mubah menurut syariat karena praktik ini terbilang kategori ijarah," lanjut tulisan tersebut.
Singkatnya, ia menjelaskan bahwa fiqih tidak mengatur tarif jasa yang digunakan dalam ijarah dimana tarif jasa disesuaikan atas kesepakatan kedua belah pihak.