"Harus ada terobosan pada orangtua, tidak mudah menjadi anak jaman sekarang, tidak mudah menjadi orangtua jaman sekarang. Dulu menjadi orangtua tidak seberat saat ini. Kekuatan internet zaman sekarang membuat informasi yang anak serap menjadi berbeda dengan anak zaman dulu. Anak harus diberikan informasi yang benar, anak-anak mudah meniru model sehingga yang mereka tangkap sesuai dengan apa yang mereka lihat,” ujar Rohika.
Seperti kita ketahui, baru-baru ini beredar berita tentang anak SMP dihamili oleh anak SD sementara mereka masih sama-sama berusia 13 tahun. Ini tentu menjadi tanggung jawab banyak pihak. Tidak bisa menyalahkan anak saja.
Sementara tidak kesiapan usia yang belum matang juga bisa membuat Si Anak yang menikah muda ini terlibat atau menjadi pelaku kekerasan rumah tangga. Inilah yang berbahaya.
“Anak dipaksa untuk menjadi dewasa, padahal tumbuh kembang seharusnya masih terjadi, bahkan menstruasi saja masih terasa sakit, ini jelas tidak aman ketika anak dengan usia masih sangat kecil sudah harus menikah,” kata Rohika.
Terlepas dari kekerasan yang bisa terjadi dalam rumah tangga pernikahan anak, ada faktor lain yang perlu diperhatikan. Misalkan, masalah kesehatan alat reproduksi anak perempuan, ini harus dipantau karena bagi perempuan yang mengalami kehamilan sebelum usia 20 tahun rentan terkena kanker serviks.
Pernikahan usia anak juga memiliki dampak antar generasi. Bayi yang dilahirkan oleh anak perempuan yang menikah pada usia anak memiliki risiko kematian lebih tinggi.
Selain itu, kemungkinan terjadinya bayi meninggal sebelum usia 1 tahun dua kali lebih besar dibandingkan dengan anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang melahirkan setelah berusia 20 tahun.
Itulah sebabnya, semua elemen masyarakat perlu menaruh perhatian lebih dan mendukung gerakan Kementrian PPPA dalam hal menekan angka pernikahan anak di Indonesia.