SPM yang merupakan pelaku dari kasus pencabulan anak oleh pengurus gereja di Depok, diduga telah mencabuli anak-anak yang dibina olehnya dalam sebuah kegiatan gereja sejak awal 2000-an.
Dari penyelidikan internal gereja, aksi pencabulan yang dilakukan SPM paling lama terjadi pada 2006. Namun, baru dicurigai pada Maret 2020. Pendamping hukum para korban, Azas Tigor Nainggolan, menceritakan kronologi kasus pencabulan tersebut.
Kasus ini mulai tercium semenjak Maret 2020 oleh pengurus-pengurus gereja lainnya. Para alumni misdinar (subseksi kegiatan yang dibina SPM) pun turut curiga karena melihat perilaku SPM.
"Dia suka pangku-pangku, suka peluk-peluk. Ini cerita dari teman-teman. Akhirnya mereka mencoba mendalami apa yang mereka lihat, melalui orangtua para misdinar dan teman-teman alumni misdinar," ungkap Tigor.
Dari situ, pihak gereja membentuk tim investigasi internal yang terdiri dari pengurus-pengurus lain. Mereka juga menemui Pastor Paroki Gereja, Yosep Sirilus Natet, untuk meminta pandangan karena kasus pencabulan ini dilakukan seorang pengurus senior gereja.
Natet pun berpendapat bahwa segala keburukan dalam internal mereka harus diselesaikan secara hukum. Apalagi ini menyangkut para korban yang trauma akibat kejahatan seksual yang dilakukan oleh SPM.
Penyelidikan oleh tim internal gereja berlanjut dengan mengundang satu per satu orangtua anggota misdinar. Mereka orangtua diberi pertanyaan terkait kemungkinan bahwa anak-anaknya menjadi korban pencabulan oleh SPM.
Sayangnya, sulit menerima jawaban atas penyelidikan tersebut. Sebab, menurut Tigor ada situasi di mana para korban tidak menyadari bahwa dirinya dilecehkan karena masih anak-anak. Usia paling kecil dari mereka adalah 11 tahun.
Begitu pun dengan para orangtua yang tidak tahu karena anak-anak mereka tidak menceritakannya. Di samping itu, ada pula orangtua yang takut dan malu setelah mengetahui anaknya menjadi korban kasus tersebut.
Untungnya, salah satu orangtua korban ada yang menyampaikan kepada tim investigasi internal gereja bahwa anaknya telah mengalami perlakuan tak pantas oleh SPM pada Maret lalu.
Setelahnya, investigasi terus berkembang dan para korban lainnya pun berani mengaku. Tigor mengungkap telah menerima pengakuan dari 11 anak, di mana 6 di antaranya sudah selesai, sedangkan 5 lainnya masih dibutuhkan pemeriksaan lebih dalam.
Dari pengakuan para korban, ada dugaan bahwa SPM sering kali memaksa dan mengancam untuk tidak memberikan tugas misdinar kepada anak-anak itu agar menurut saat akan dicabuli. Namun, tidak ada ancaman kekerasan dari hasil pemeriksaan.
Akhirnya, gereja sepakat bahwa kasus ini harus dibawa ke ranah hukum. Pihak gereja juga menunjuk Tigor untuk mendampingi pelapor bersama dengan psikolog, romo (pastor), dan biarawati. Dan SPM pun telah diberhentikan dari kepengurusan gereja.