5 Fakta Studi Terbaru Terkait Virus Corona

Semoga cepat ditemukan formula untuk melawan Covid-19

12 Oktober 2020

5 Fakta Studi Terbaru Terkait Virus Corona
Pixabay/Thor_Deichmann

Mama, kasus infeksi virus corona makin lama terus menyebar ke seluruh dunia, belum ada kepastian kapan kondisi ini akan berakhir.

Menurut data Worldometers, pada Minggu malam (11 Oktober 2020), jumlah kasus positif Covid-19 di seluruh dunia mencapai 37.533.096 lho. Diantaranya, 28.159.072 orang sembuh dari virus corona dan 1.1.078.444 meninggal.

Seluruh dunia pun saat ini sedang menekan angka kasus Covid-19 agar tidak meningkat terus-menerus, dengan berbagai upaya. Bahkan para ahli mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk menemukan formula untuk melawan Covid-19.

Maka dari itu, para ahli terus menemukan banyak penelitian terkait SARS-CoV-2 yang teridentifikasi pertama kalinya di Wuhan, China. Ada banyak hasil riset terbaru terkait virus corona lho, Ma.

Popmama.com akan merangkum hasil riset mengenai Covid-19 berikut ini.

1. Neurologis

1. Neurologis
Freepik

Mama, ternyata pasien rawat inap Covid-19 yang parah dikatakan sangat umum dengan gejala neurologis terkait saraf.

The Annals of Clinical and Transformation Neurology menjelaskan bahwa gejala yang ditemukan bervariasi, mulai dari kesulitan berkonsentrasi, ingatan jangka pendek, dan konsentrasi hingga kesulitan multitasking.

Selain itu, penelitian menemukan bahwa pasien virus corona dapat terus mengalami gejala tersebut setelah sembuh dari penyakitnya lho! 

Editors' Pick

2. Bertahan 9 jam di kulit manusia

2. Bertahan 9 jam kulit manusia
metroparent.com

Menurut laporan, studi baru "Life Science" yang dilakukan oleh peneliti Jepang menunjukkan bahwa virus corona bertahan lebih lama di kulit manusia daripada virus influenza.

Virus Corona dapat bertahan hidup pada sampel kulit manusia yang mati selama kurang lebih 9 jam lho, Ma! Pada saat yang sama, jenis virus influenza A (IAV) bertahan di kulit manusia selama sekitar dua jam.

Namun, telah dipastikan bahwa hand sanitizer dapat digunakan untuk membunuh kedua virus pada kulit tersebut dengan cepat.

Oleh karena itu, penting untuk mencuci tangan menggunakan sabun ya, jika tidak ada air mengalir dan sabun, Mama bisa gunakan hand sanitizer untuk mencegah penyebaran Covid-19 ya! 

3. Anosmia, gangguan indra penciuman dan perasa

3. Anosmia, gangguan indra penciuman perasa
Freepik

Anosmia atau hilangnya penciuman menjadi salah satu gejala yang banyak ditemukan pada pasien Covid-19. Awal infeksi Corona, orang yang terinfeksi mengalami sejumlah gejala seperti sesak napas, demam, nyeri otot, menggigil, dan sakit tenggorokan. 

Namun, hilangnya rasa atau bau menjadi hal yang harus diwaspadai lho. Olfactory brokenness (OD) atau disfungsi olfaktorius, yang didefinisikan sebagai kemampuan mencium, akan berkurang atau terdistorsi selama mengendus atau saat makan. 

Kondisi ini sering dilaporkan dalam kasus infeksi Covid-19 ringan, bahkan asimtomatik atau tanpa gejala.

Laporan OD terkait infeksi Covid-19 menggambarkan gangguan penciuman yang muncul tiba-tiba, yang mungkin dengan atau tidak disertai gejala lain. Gangguan penciuman lebih sering ditemukan pada pasien muda dan wanita lho, Ma!

Mulai sekarang harus lebih waspada ya, Ma! Jika Mama merasakan gejala tersebut segera hubungi dokter ya! 

4. Demam berdarah munculkan kekebalan terhadap corona

4. Demam berdarah munculkan kekebalan terhadap corona
freepik.com/sunnygb5

Studi yang menganalisis pandemi Covid-19 di Brasil menemukan hubungan antara penyebaran infeksi dan wabah demam berdarah di masa lalu. Penelitian menunjukkan, paparan penyakit yang ditularkan nyamuk dapat memberikan kekebalan terhadap Covid-19.

Reuters, 21 September 2020, menuliskan penelitian yang dipimpin Miguel Nicoleis, profesor Duke University membandingkan distribusi geografis kasus infeksi Covid-19 dengan penyebaran demam berdarah pada 2019 dan 2020.

Disebutkan, tempat-tempat dengan tingkat penyebaran yang rendah dan pertumbuhan kasus yang lambat, merupakan lokasi-lokasi yang mengalami wabah demam berdarah hebat pada tahun ini dan tahun lalu.

Hal tersebut menyoroti korelasi yang signifikan antara insiden, kematian, dan tingkat pertumbuhan Covid-19 yang lebih rendah pada populasi di Brasil, di mana tingkat antibodi terhadap demam berdarah lebih tinggi.

Hasil ini sangat menarik, sebab penelitian sebelumnya menunjukkan orang dengan antibodi demam berdarah dalam darahnya dapat memberi tes false positive atau positif palsu untuk antibodi Covid-19, bahkan jika mereka tidak pernah terinfeksi virus corona.

Sementara penelitian dari Duke University, University of Sao Paolo, Federal University of Paraiba, dan Oswaldo Cruz Foundation menemukan semakin tinggi kasus DBD di masa lalu di lokasi geografis tertentu, semakin rendah jumlah kasus infeksi Covid-19.

5. Efektivitas remdesivir

5. Efektivitas remdesivir
pixabay.com/PhotoLizM

Seperti diketahui, obat khusus Covid-19 belum ditemukan ya, Ma. Namun, penelitian menunjukkan beberapa obat menunjukkan perkembangan baik dalam melawan Covid-19 lho, termasuk remdesivir.

Remdesivir menjadi obat pertama yang mendapatkan perizinan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) untuk digunakan pada pasien Covid-19.

Remdesivir buatan Gilead Sciences dapat menghambat replikasi virus baru dengan memasukkannya ke dalam gen virus baru.

Awalnya, obat ini digunakan sebagai antivirus untuk penyakit ebola dan hepatitis C. Publikasi di New England Journal of Medicine menuliskan, para peneliti memastikan manfaat remdesivir untuk mengobati orang yang dirawat di rumah sakit karena Covid-19.

Itu dia Mama, lima studi baru terkait Covid-19. Semoga cepat ditemukan obat yang bisa menaklukan Covid-19, dan dapat digunakan di Indonesia ya, Mama.

Tetap semangat dan jaga kesehatan selalu ya, Ma! 

Baca juga:

The Latest