Salah satu hal yang dipermasalahkan dalam omnibus law adalah turunnya nilai pesangon yang diterima karyawan atau buruh dari perusahaan. Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan karyawan berhak mendapat 32 upah. Sementara pada UU Cipta Kerja, karyawan hanya mendapat 25 upah saja.
Pembayarannya terdiri dari, pesangon setara 19 kali upah (terdapat dapat pasal 156 ayat 1 UU Cipta Kerja) menjadi beban perusahaan dan enam kali upah diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pada Ayat (2) disebutkan bahwa uang pesangon untuk masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih ialah 9 (sembilan) bulan upah. Sedangkan pada Ayat (3), disebutkan uang penghargaan untuk masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih ialah 10 (sepuluh) bulan upah.
Dalam pasal 156 UU Cipta Kerja mengatur tentang pesangon yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Pesangon PHK atas pengajuan buruh
Namun, dalam UU Cipta Kerja menghapus ketentuan soal permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan buruh/pekerja karena merasa dirugikan perusahaan. Hal itu sebelumnya diatur dalam Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156 UU Cipta Kerja.
Sedangkan ayat (3) menyebutkan, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja.
Dengan dihapuskannya seluruh Pasal 169 dalam UU Cipta Kerja, maka ketentuan ini tidak berlaku lagi.