Di Indonesia juga ada aturan yang mengatur penggunaan emoji. Teguh Arifiyadi, Kepala Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika, menyatakan bahwa emoji pada dasarnya adalah bentuk ekspresi yang memiliki makna yang disepakati secara universal. Ia berpendapat bahwa emoji merupakan bentuk ekspresi yang tidak cenderung mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) atau hate speech (ujaran kebencian).
Namun demikian, Teguh juga menyatakan bahwa penggunaan emoji tanpa pengiring kalimat (emoji berdiri sendiri) dapat berpotensi menjadi penghinaan ringan sesuai dengan ketentuan Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP"), misalnya jika emoji jari tengah digunakan untuk tujuan menghina seseorang melalui media elektronik.
Pasal 315 KUHP menyatakan bahwa setiap penghinaan yang disengaja, baik secara lisan atau tertulis, yang tidak berupa pencemaran nama baik dan dilakukan terhadap seseorang di depan umum, secara pribadi, melalui lisan, tulisan, atau tindakan, atau melalui surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dapat dihukum dengan pidana penjara maksimal empat bulan dua minggu atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.