Dampak Toxic Masculinity Terhadap Perilaku Negatif di Tempat Kerja

Toxic masculinity jika dibiarkan terus menerus bisa menyebabkan masalah di tempat kerja

23 Maret 2022

Dampak Toxic Masculinity Terhadap Perilaku Negatif Tempat Kerja
Freepik/drobotdean

“Sebagai laki-laki, kamu nggak boleh nangis!”, apakah kamu pernah dengarnya? Hal ini disebut juga dengan toxic masculinity.

Toxic masculinity adalah sebuah anggapan yang salah kaprah mengenai perilaku laki-laki, yang terbentuk oleh lingkungan sosial dan masyarakat. Karena ini, laki-laki terperangkap dalam situasi dimana mereka harus memenuhi tuntutan yang harus dicapai, sehingga menimbulkan perilaku toxic masculinity.

Jika dibiarkan terus menerus kondisi ini bisa berdampak buruk di tempat kerja, serta tentunya berbahaya bagi perempuan, masyarakat, maupun diri laki-laki itu sendiri.

Dalam siaran pers yang diterima Popmama.com pada Selasa (15/3), IBCWE koalisi perusahaan yang berkomitmen untuk mempromosikan pemberdayaan ekonomi perempuan dan kesetaraan gender, menyampaikan hasil survei mengenai toxic masculinity yang dilakukan pada Februari 2022. Berikut rangkuman informasi selengkapnya.

1. Apa itu toxic masculinity?

1. Apa itu toxic masculinity
Freepik/wayhomestudio

Toxic masculinity adalah sebuah tekanan bagi kaum laki-laki untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu, dimana ini terbentuk oleh masyarakat atau lingkungan sosial.

Menurut Maya Juwita, direktur eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), toxic masculinity ini merupakan anggapan yang salah kaprah tentang bagaimana seorang laki-laki harus bersikap.

Seperti misalnya anggapan di masyarakat bahwa laki-laki tidak boleh menangis. Tentu anggapan tradisional maskulinitas seperti ini bisa mendorong perilaku negatif di tempat kerja.

Editors' Pick

2. Hasil survei IBCWE mengenai toxic masculinity

2. Hasil survei IBCWE mengenai toxic masculinity
Pexels/burak

IBCWE meluncurkan hasil survei mengenai toxic masculinity yang dilakukan pada Bulan Februari 2022. Survei ini ditujukan untuk memotret peran maskulinitas yang salah kaprah dalam dinamika kesetaraan gender di tempat kerja.

Survei ini memetakan 10 toxic masculinity yang ada di dunia kerja khususnya di Indonesia. Hasilnya, kebanyakan para responden setuju dengan adanya maskulinitas yang salah kaprah ini. Artinya masyarakat Indonesia umumnya masih punya standar yang sulit dicapai oleh laki-laki. Dimana hal ini justru bisa mendorong perilaku atau budaya kerja yang negatif.

“Standar yang tidak dapat dicapai inilah yang bisa mendorong perilaku atau budaya kerja yang negatif. Seperti misalnya budaya kerja saling sikut, mendahulukan pekerjaan atau tidak pernah mengakui kesalahnya,” ujar Maya.

Selain itu dari 896 responden, 59,4% perempuan dan 40,4% laki-laki nyatanya masih terjebak dalam bias-bias gender. Mereka masih memiliki anggapan bahwa laki-laki dan perempuan harus memenuhi standar-standar gender tertentu.

3. Toxic masculinity harus dibenahi karena memiliki dampak buruk

3. Toxic masculinity harus dibenahi karena memiliki dampak buruk
Pexels/pluetoe

Faktanya, toxic masculinity memang kurang menguntungkan bagi operasional perusahaan dan harus dibenahi. Karena adopsi perilaku negatif pada laki-laki bisa berbahaya bagi perempuan, masyarakat, maupun laki-laki itu sendiri.

Bentuk adopsi perilaku negatif ini bisa berupa tampilan dominasi yang tidak diinginkan, pengambilan risiko yang tidak bertanggung jawab, hingga munculnya kebencian terhadap kaum perempuan. Terlebih lagi, perilaku bias yang negatif ini bisa tertanam dalam pikiran bawah sadar seseorang.

4. Laki-laki harus ikut terlibat agar keberagaman dan inklusi di tempat kerja bisa tercapai

4. Laki-laki harus ikut terlibat agar keberagaman inklusi tempat kerja bisa tercapai
Freepik/tirachardz

Keterlibatan serta dukungan dari semua gender tentunya sangat dibutuhkan, agar keberagaman dan inklusi di tempat kerja bisa tercapai. Maka dari itu selain perempuan, tentunya laki-laki juga harus ikut terlibat.  

Penelitian global dari Boston Consulting Group menunjukkan, ketika laki-laki terlibat langsung dalam keberagaman gender, baik laki-laki maupun perempuan percaya bahwa perusahaan mereka membuat kemajuan yang jauh lebih besar dalam mencapai kesetaraan gender.

Selain itu data menunjukkan bahwa perusahaan yang laki-lakinya secara aktif ikut terlibat dalam program inklusi gender, 96% melaporkan adanya kemajuan dibandingkan dengan 30% perusahaan dimana laki-laki tidak terlibat.

Hanya saja, sejauh ini perusahaan cenderung berfokus pada perubahan perempuan daripada memecahkan struktural sistemik yang menyebabkan hak istimewa laki-laki dan menegakkan perilaku mereka.

Padahal laki-laki secara langsung juga memiliki andil untuk menunjukkan keterlibatanya dalam kesetaraan gender, serta pemberdayaan perempuan di tempat kerja.

Baca juga:

The Latest