Pernikahan sedarah atau incest ini sudah sangat melanggar hukum yang ada, adat serta agama. Dalam Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang, antara lain:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau keponakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Pernikahan sedarah sangat tidak memenuhi syarat dan bisa dibatalkan oleh pejabat yang ditunjuk, sehingga bisa mencegah berlangsungnya perkawinan.
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan apabila terdapat pernikahan yang dapat melanggar hukum.
Bagi pihak yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan perkawinan tersebut, maka wajib memberi tahu kepada keluarga serta instansi yang berwenang. Dalam hal ini pengadilan Agama untuk selanjutnya diproses sesuai aturan yang ada, sehingga didapat posisi hukum yang sah.
Sesuai dengan Pasal 90 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditentukan pembatalan segala perkawinan yang berlangsung dengan menyalahi ketentuan-ketentuan termuat dalam Pasal 30, 31, 32, dan 33.
Pernikahan tersebut boleh dituntut atau dimintakan pembatalan oleh suami istri itu sendiri, orangtua, keluarga sedarah mereka dalam garis keturunan ke atas, oleh mereka yang berkepentingan atas pembatalan tersebut atau dari kejaksaan.