Seorang suami yang perhitungan dan pelit, hingga membuat istrinya kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Maka ia adalah laki-laki yang zalim karena tak bertanggung jawab atas kewajibannya.
Allah SWT sangat membenci umatnya yang mempersulit hidup orang lain dan zalim. Hal ini diterangkan dalam QS. Ash-Shura Ayat 39 yang berbunyi:
وٱلذين اذا اصابهم ٱلبغى هم ينتصرون ﴿٣٩﴾وجزوا سيية سيية مثلها فمن عفا واصلح فاجرهۥ على ٱلله انهۥ لا يحب ٱلظلمين ﴿٤٠﴾ولمن ٱنتصر بعد ظلمهۦ فاوليك ما عليهم من سبيل ﴿٤١﴾انما ٱلسبيل على ٱلذين يظلمون ٱلناس ويبغون فى ٱلارض بغير ٱلحق اوليك لهم عذاب اليم ﴿٤٢﴾ولمن صبر وغفر ان ذلك لمن عزم ٱلامور ﴿٤٣
Artinya:
"Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.
Tetapi orang-orang yang membela diri setelah dizalimi, tidak ada alasan untuk menyalahkan mereka. Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran.
Mereka itu mendapat siksa yang pedih. Tetapi barangsiapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia," (QS. Ash-Shuraa: 39).
Ancaman terhadap suami yang zalim karena tidak menafkahi istri dengan baik juga tercantum dalam QS. Ali-Imran Ayat 192 yang berbunyi:
ربنا انك من تدخل النار فقد اخزيته وما للظالمين من انصار
Artinya:
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun," (QS. Ali-Imran Ayat 192).
Lalu, hadis dari HR. At-Thabrani dalam Al-Kabir juga menyampaikan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Ada dua golongan dari umatku yang tidak beroleh syafaatku yaitu pemimpin yang sangat zalim lagi alim dan setiap orang yang ghuluw yang keluar/menyimpang dari agama," (HR. At-Thabrani dalam Al-Kabir 8/337/8079).
Dalam hal ini, apabila suami masih keras pada sifatnya yang perhitungan untuk kebutuhan hidup istri dan anak-anak. Islam memperbolehkan bagi istri mengambil penghasilan suami, meskipun tanpa izin dan sepengetahuan dirinya.
Dasar dari tindakan ini berasal dari hadis tentang Hindun binti 'Uthah radhiallahu 'anha, saat ia mengadu pada Nabi SAW tentang suaminya, Abu Sufyan, yang tak pernah memberikan nafkah pada keluarga. Lalu, Rasulullah SAW bersabda:
خذي من ماله بالمعروف ما يكفيك ويكفي بنيك
Artinya:
"Ambillah sebagian dari hartanya secara baik-baik, sesuai dengan apa yang mencukupi kebutuhanmu dan anakmu." (HR. Bukhari 2211 dan Muslim 4574).
Namun, semua ini kembali lagi pada istri yang juga harus melihat, apakah sifat perhitungan ini dilakukan suami untuk kebaikan rumah tangga. Apabila tindakan tersebut sengaja dilakukan atas dasar tegas pada kebutuhan keuangan keluarga, maka hal itu masih diwajarkan jika sesuai pada batasannya.