Salah satu langkah yang diambil Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dalam mencegah perkawinan anak yakni dengan menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,21% menjadi 8,74% yang tertuangan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Selain itu pengesahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga menjadi langkah progresif yang telah diambil Kemen PPPA.
Anak-anak peserta sosialisasi tentunya menyambut baik sosialisasi pendidikan pranikah yang mendukung penurunan angka perkawinan anak.
Salah satunya Shanti, peserta sosialisasi pendidikan pranikah mengatakan setuju dengan kampanye stop perkawinan anak ini.
"Memberikan pendidikan pranikah pada pelajar SMA/SMK merupakan langkah yang tepat, ini juga dapat mendukung agar pelajar ini memilih untuk melanjutkan pendidikan dibanding menikah muda. Melalui sosialisasi ini diharapkan mampu mengedukasi bagaimana perencanaan yang baik dan benar," ujar Shanti.
Begitu banyak dampak negatif dari perkawinan anak diantaranya, kurangnya kesiapan fisik anak perempuan untuk mengandung dan melahirkan sehingga dapat meningkatkan risiko angka kematian ibu dan anak.
Selain itu, ketidaksiapan mental untuk membina rumah tangga juga meningkatkan resiko kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, ketidaksehatan mental, dan pemberian pola asuh yang tidak tepat pada generasi selanjutnya.
“Impian Indonesia bebas perkawinan anak akan terwujud dengan sinergi dari seluruh pihak dari berbagai pelaku pembangunan baik pemerintah tingkat pusat, daerah, akademisi, lembaga masyarakat maupun dunia usaha, termasuk WHDI. Semoga kerja sama antara pemerintah dan WHDI yang selama ini terjalin dengan baik dapat terus berlanjut untuk melindungi anak-anak Indonesia,” tutup Menteri Bintang.
Baca juga: