Dalam Heron, Eisma, dan Browne (2022), alasan kedua yang membuat sulitnya korban KDRT melepaskan hubungan toksik karena merasa terjebak dan terperangkap. Hal ini pun bisa dipengaruhi oleh ketidakberdayaan seseorang.
Sebagai informasi, ketidakberdayaan dalam menghadapi sesuatu sering sekali membuat seseorang menjadi merasa lemah dan tidak memiliki kekuatan untuk mengatasi hal tersebut. Argumen itu diperkuat oleh penelitian lainnya yang telah dipublikasikan sebelumnya.
Di mana dari hasil penelitian Alice Yuen Loke, Mei Lan Emma Wan, dan Mark Hayter (2012) dalam jurnal berjudul "The Lived Experience of Women Victims of Intimate partner Violence" menunjukkan bahwa responden bertahan karena merasa tidak berdaya.
Tak hanya itu, penelitian ini juga mengungkap bahwa responden tidak memiliki kendali atas kekerasan yang terjadi pada diri mereka. Perasaan tak berdaya ini pun ikut menyebabkan rendahnya harga diri mereka, dan bahkan depresi.
Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa mereka yang menjadi korban kekerasan selama bertahun-tahun dan berjuang untuk tetap dalam hubungan memilih bertahan demi anak tercinta.
Menurut para peneliti, hal tersebut dilakukan karena para responden yang terlibat dalam penelitian ini ingin memberi anak yang dicintainya sebuah keluarga.
Jadi, itulah beberapa rangkuman informasi yang membuktikan penelitian soal korban KDRT susah lepas dari hubungan toksik. Bila diamati, hasil penelitian yang sudah dipublikasikan mengungkapkan beragam alasan tersendiri dari para korban KDRT.
Dari rangkuman di atas, kita tentu jadi memahami bahwa posisi mereka sebagai korban KDRT tak mudah.
Berangkat dari beberapa penelitian tersebut, dukungan kepada mereka menjadi hal wajib yang bisa kita berikan agar para korban dapat mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya.