Jadi Diskusi di Medsos: RUU KIA Perlu Waspada dan Hati-Hati, Kenapa?

RUU KIA perlu dibaca secara kritis dan hati-hati, apa alasannya?

23 Juni 2022

Jadi Diskusi Medsos RUU KIA Perlu Waspada Hati-Hati, Kenapa
unsplash.com/@freestocks

Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) kini masih dibahas. Dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), turut mendukung gagasan tersebut.

Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Agustina Erni mengatakan, ini dapat memperkuat komitmen bersama lintas sektor dalam upaya perempuan dan perlindungan anak, khususnya untuk kesejahteraan ibu dan pemenuhan hak anak.

“Diharapkan dengan adanya RUU KIA ini, perempuan diberikan kesempatan untuk mengasuh anak dan juga bekerja dapat terus meningkatkan TPAK perempuan di Indonesida dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki,” ungkapnya yang dilansir dari IDNTimes, Rabu (22/6/2022).

Meski RUU KIA ini masih dibahas, bahkan banyak diskusi mengenai ini di media sosial, turut waspada dan hati-hati. Apa alasannya?

Berikut ungkapan dari pemilik akun Evi Mariani yang Popmama.com rangkum di bawah ini.

1. Plus dan minus bagi ibu yang cuti melahirkan

1. Plus minus bagi ibu cuti melahirkan
twitter.com/evimsofian

Dalam cuitan @evimsofian lewat laman Twitter, sepintas RUU ini tidak ada masalah. Tapi jika dilihat secara kritis, RUU ini memberi fasilitas lebih kepada Ibu sekaligus memberi beban kewajiban pada Ibu, serta memberi kewenangan pengawasan pada masyarakat untuk penyampaian laporan.

“Pasal 10, kewajiban Ibu. Disclaimer: Saya seorang ibu, saya memberi ASI ekslusif 6 bulan, memberi ASI hingga 2 tahun. 9 kewajiban ini memang hal-hal yang lazim diharapkan dari ibu. Tapi ketika dia menjadi WAJIB dan teraktub di UU, maka terbuka kemungkinan pemerintah dan masyarakat bisa menghakimi ibu,” ungkap Co-founder, Executive Director di Project multatuli ini. 

Editors' Pick

2. Tidak semua ibu bisa memberi ASI, mengapa?

2. Tidak semua ibu bisa memberi ASI, mengapa
Unsplash/luizabraun

Evi Mariani mengatakan, secara khusus RUU ini memang wajib memberi ASI kepada anak yang baru lahir. Walau ini yang terbaik, tapi tidak semua Ibu bisa memberi ASI, dan tidak semua karena alasan medis.

“Banyak ibu yang harus segera cari uang dan kerja di luar rumah. Apakah kondisi ini bisa dikatakan ‘ibu terpisah dari Anak?’ Di bagian penjelasan tidak ada,” terangnya.

“Ayat 1a, 1b, 1c, jika dilihat secara kritis, membebani perempuan yang hamil tapi tidak diinginkan. Definisi ibu di RUU: Perempuan mengandung. Jadi perempuan hamil, apapun kondisinya, harus menjaga janin. Sepintas wajar, tapi tidak semua perempuan mengandung ceritanya indah. Ada yang diperkosa,” ujar Evi Mariani.

3. RUU KIA dinilai wajar, tapi tidak semua ibu mampu

3. RUU KIA dinilai wajar, tapi tidak semua ibu mampu
Unsplash/camylla93

Evi Mariani menegaskan, bahwa sembilan kewajiban di RUU KIA tersebut terasa wajar dan tidak berat. Hanya saja, Evi menerangkan tidak semua seperti dirinya yang mendapat dukungan suami, tempat kerja, orangtua, lingkungan, dan sebagainya.

“Tidak semua ibu seperti saya. Membuatnya jadi wajib dan ada di UU membuka peluang ada konsekuensi hukum bagi ibu, tapi tidak untuk ayah,” terangnya.

“Betul ada ayat 2, yang isinya bahwa ibu dalam melaksanakan kewajiban harus didukung ayah, keluarga, dan lingkungan. Tapi ini tetap tidak adil, karena ayah bisa cuti 40 hari tanpa ketegasan tentang apa kewajiban dia,” tegas Evi.

“Harusnya ayah juga ada pasal khusus tentang kewajibannya, kalau mau adil,” usul Evi Mariani.

4. RUU KIA dinilai lebih dibebankan kepada Ibu

4. RUU KIA dinilai lebih dibebankan kepada Ibu
unsplash.com

Walau RUU KIA memberi fasilitas kepada ibu yang cuti melahirkan, hanya saja Evi mengatakan bahwa RUU tersebut memiliki beban pengasuhan lebih banyak kepada ibu.

“Meski secara realitas di lapangan ini terjadi, dan dianggap lazim oleh banyak orang, mengapa harus dibikin undang-undang? Beban ibi dibikin mengikat secara hukum,” ungkapnya.

“Betul tidak ada sanksi. Tapia da pasal-pasal pengawasan oleh Pempus dan Pemda, juga Partsipasi Masyarakat bisa berbentuk ‘Penyampaian laporan’. Artinya ibu yang tidak memberi ASI bisa saja dilaporkan oleh masyarakat (petugas Posyandu, tetangga, netizen),” pungkasnya.

Demikian ungkapan terkait RUU KIA. Bagaimana Ma, apakah Undang-Undang ini dinilai wajar bagi perempuan, atau justru memberatkan perempuan?

Baca juga:

The Latest