Kurangnya Kesiapan Nakes Dalam Mendukung ASI Eksklusif di Masa Pandemi
HCC: 62 persen nakes Indonesia sulit mempertahankan ibu menyusui dan ASI Eksklusif
9 Agustus 2021

Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Dalam pandemi seperti ini, memberikan ASI atau menyusui anak harus tetap dilakukan demi mendapatkan kebutuhan nutrisi yang cukup.
Namun, ternyata para tenaga kesehatan kesulitan untuk mempertahankan ibu menyusui agar memberikan asi eksklusif selama masa pandemi.
Dalam rangka memperingati Pekan ASI Sedunia 2021, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, selaku Pendiri dan Ketua Health Collaborative Center (HCC) melakukan Konferensi Pers Virtual mengenai Hasil Penelitian Kesiapan Tenaga Kesehatan Indonesia Menyukseskan ASI selama Pandemi pada Rabu, (4/8/2021).
Menurut dr. Ray, temuan penelitian ini antiklimaks dari momentum Pekan ASI Sedunia di tengah pandemi ini yang bertemakan Lindungi ASI Tanggung Jawab Bersama. Apalagi tingginya angka tenaga kesehatan Indonesia yang mengaku kesulitan dalam memberikan ASI eksklusif karena banyak faktor.
"Para tenaga kesehatan terutama di layanan primer mengakui kesulitan mempertahankan ibu untuk menyusui karena ketidaktersediaannya layanan antenatal care atau pemantauan kehamilan dan menyusui secara daring," ungkap dr. Ray dalam konferensi pers tersebut.
Dr. Ray juga memaparkan bagaimana hasil penelitian bersama tim ahli lainnya. Berikut telah Popmama.com rangkum hasil penelitian kesiapan tenaga kesehatan Indonesia untuk menyukseskan ASI selama pandemi.
1. Fasilitas kesehatan yang tidak memiliki layanan telemedicine
Dari hasil penelitian, faktor pertama mengapa tenaga kesehatan itu kesulitan untuk mempertahankan ibu menyusui untuk memberikan ASI Eksklusif adalah karena ada 57 persen fasilitas kesehatan layanan primer tidak memiliki pelayanan antenatal care online (pemeriksaan ibu hamil atau ibu menyusui secara daring) atau telemedecine selama pandemi Covid-19.
Mengapa hal ini menjadi penting? Sebab, selama pandemi posyandu, puskesmas, dan kelas ibu hamil ditutup sementara untuk mencegah risiko peningkatan kasus Covid-19.
Ternyata, fasilitas layanan kesehatan untuk ibu menyusui dan ibu hamil bukan menjadi prioritas. Kalaupun para tenaga kesehatan harus melakukannya, itu juga menjadi hal yang sulit karena tidak bisa secara tatap muka.
Sehingga hal ini berisiko 1,4 kali lebih besar mengganggu pelayanan laktasi dan kesehatan para ibu menyusui serta ibu hamil.
Editors' Pick
2. Tenaga kesehatan di layanan primer tidak mendapatkan pelatihan menyusui
Dr. Ray kemudian menambahkan dari hasil sebelumnya, kalaupun para tenaga kesehatan tetap harus melakukan itu menjadi hal yang sulit sebab 66 persen tenaga kesehatan di layanan primer tidak pernah mendapatkan pelatihan menyusui khusus manajemen laktasi untuk pandemi.
Tenaga kesehatan mengaku mereka belum mendapatkan pelatihan tersebut secara khusus, walaupun memang pembelajaran didapatkan dari manapun seperti media sosial. Namun, selama ini tenaga kesehatan hanya menerima surat pemberitahuan, atau link website dari organisasi kesehatan.
Akan tetapi para tenaga kesehatan masih bingung untuk menerapkannya. Sehingga karena tidak adanya pelatihan khusus, akan berisiko 1,2 kali lebih besar risiko mengganggu pelayanan laktasi dan kesehatan.