TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Mengenal Toxic Masculinity dan Bagaimana Kita Menyikapinya

Sesuatu yang toxic emang gak baik nih, Ma!

Pexels/pluetoe

Mega series berjudul Suara Hati Istri: Zahra yang tayang di stasiun televisi Indosiar baru-baru ini tuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Sinetron tersebut memperlihatkan seorang suami bernama Tirta yang memiliki ketiga istri, dan istri ketiga, bernama Zahra diperankan oleh perempuan berusia 15 tahun.

Belum lagi, di sinetron tersebut menampilkan kekerasan psikis berupa bentakan, makian dan pemaksaan melakukan hubungan seksual.

Tayangan ini pun berisiko memengaruhi masyarakat untuk melakukan pernikahan usia anak, kekerasan seksual dan Tinda Pidana Perdagangan Orang (TPPO) karena diceritakan Zahra dinikahkan dengan alasan untuk membayar hutang keluarganya.

Sontak Deputi Perlindungan Khusus Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan (Kemen PPPA), Nahar khawatir akan menimbulkan toxic masculinity.

Sebetulnya apa itu toxic masculinity ya Ma? Popmama.com sudah merangkum beberapa informasinya dari berbagai sumber.

1. Apa itu toxic masculinity?

Freepik/jcomp

Dilansir dari IDN Times, Toxic masculinity atau yang kita sebut maskulinitas beracun adalah kondisi dimana seorang laki-laki harus menganggap dirinya paling dominan dan bagaimana umumnya mereka bertindak, bersikap dan berperilaku.

Secara singkatnya, itu adalah norma yang berkembang di masyarakat bagaimana seharusnya seorang laki-laki berperilaku.

Menurut Very Well Mind, toxic masculinity memiliki tiga komponen inti yang berpengaruh, diantaranya:

Ketangguhan. Ini adalah gagasan atau pemikiran bahwa laki-laki harus kuat secara fisik, tidak begitu emosional bahkan perasa.

Anti terhadap feminin. Hal ini melibatkan pemikiran bahwa laki-laki mesti menolak apapun yang dianggap feminin, seperti menunjukkan emosi atau menerima bantuan.

Kekuasaan. Ini adalah asumsi bahwa laki-laki harus bekerja untuk mendapatkan kekuasaan dan status sosial dan keuangan, sehingga mereka dapat memperoleh rasa hormat dari orang lain.

2. Ciri-ciri toxic masculinity

Freepik/pressfoto

Agar Mama bisa lebih mengetahui lebih lanjut terhadap toxic masculinity, berikut beberapa ciri-ciri yang bisa kita jumpai, meliputi :

Jika laki-laki menangis, ia adalah laki-laki lemah. Hal ini mungkin terjadi di lingkungan kita, padahal sejatinya setiap manusia memiliki porsi untuk meluapkan perasaannya sendiri.

Sejatinya sebagai manusia, mau laki-laki atau pun perempuan, kita semua punya perasaan dan emosi yang bisa kita luapkan. Termasuk menangis.

Menghina laki-laki yang menggunakan skincare atau perawatan. Memang ini selalu kita dengar dimanapun, bahwa laki-laki tidak perlu perawatan.

Padahal, kesehatan tidak melulu melihat gender, jika dirasa ingin merawat bagian tubuh, misal kulit wajah, tidak ada salahnya melakukan perawatan untuk menjaga kesehatan dan lain-lain.

Laki-laki harus keras, jangan lembek. Ada hal yang salah kaprah terjadi, seperti hal ini. Bahwa laki-laki mesti keras, harus dominan dari segala hal dan tidak boleh kalah dari perempuan.

Jelas ini keliru, lebih parahnya jika persepsi ini terus dipelihara, akan mengakibatkan kekerasan psikis ke pasangan, atau pun kekerasan verbal atau pemaksaan hubungan seks.

Dikhawatirkan akan menjadi perilaku ‘normal’ bahwa laki-laki harus diidentikan dengan kekerasan, agresif secara seksual dan merendahkan perempuan.

3. Cara mencegah perilaku toxic masculinity

Freepik/pressfoto

Seperti yang dilansir dari Medical News Today, menghilangkan atau mengubah pandangan soal maskulinitas beracun ini jelas tidak akan bisa dipahami dalam sekejap.

Pada tingkat pribadi, mungkin cukup sederhana bagi setiap orang mendidik diri sendiri untuk lebih mengetahui toxic masculinity.

Atau dalam konteks sifat dan perilaku, sampaikan bahwa tidak menjadi masalah jika seorang laki-laki menangis dan menunjukkan rasa sedih dan kecewa yang tengah dirasakan.

Serta mesti dipahami setiap manusia memiliki porsi feminin dan maskulin, dan itu adalah perilaku normal terjadi.

4. Perlu mempromosikan healthy masculinity dan positive manhood

Pexels/Allan Mas

Dari semua ciri-ciri dan konstruk di masyarakat tentang bagaimana seharusnya laki-laki berperilaku, perlunya untuk melakukan positive masculinity.

Dilansir dari Yayasan Pulih, sebuah organisasi di Amerika bernama A Call a Men, mengembangkan positive manhood untuk mencegah kekerasan dan mendorong laki-laki untuk :

  • Mengekspresikan berbagai emosi dan merasa emosi yang mereka rasakan diterima
  • Jika merasa rentan, segera mencari bantuan jika memang diperlukan
  • Memperlakukan orang lain secara sama rata dan dengan rasa hormat
  • Mendengarkan dan menghargai perempuan
  • Menjadi role model bagi laki-laki yang sebaya dengan mereka

Hal diatas tadi jelas tidak hanya bermanfaat untuk laki-laki saja lho, Ma. Tetapi pemahan maskulinitas yang sehat bermanfaat pada upaya menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Nah, sudah tahu kan mengapa toxic masculinity ini membuat stigma dan kontruksi yang sangat keliru untuk dilakukan.

Maskulin itu sesuatu yang baik dan toxic yang membuatnya tidak baik, karena tidak mengetahui dan dianggap wajar, maka konstruksi itu yang muncul di masyarakat seperti laki-laki nangis disebut cengeng, laki-laki memakain skincare disebut tidak jantan dan lain-lain.

Semoga dengan informasi tadi bisa membantu Mama sedikit lebih tahu ya!

Baca juga: 

The Latest