Peristiwa yang terjadi di masa kecil merupakan faktor utama yang berperan dalam perkembangan mitomania. Peristiwa traumatis seperti kekerasan fisik, riwayat ditelantarkan, atau kehilangan seseorang yang tersayang dapat memicu anak untuk mulai berbohong sebagai bentuk perlindungan dirinya terhadap ‘serangan’ dari luar itu.
Bagi mereka, kebohongan menjadi bagian dari respons bertahan hidup karena dapat memberikan rasa aman bagi mereka. Rasa aman itu diciptakan dengan merancang dunia utopis tempat mereka memiliki kendali penuh atas hidupnya – dan dunia fantasi itulah yang mereka karang.
Selain trauma, pola asuh dan lingkungan keluarga juga sangat memengaruhi. Dalam keluarga yang orang tuanya sering berbohong, anak-anak cenderung meniru perilaku tersebut.
Begitu pula dalam keluarga di mana anak-anak sering diabaikan atau tidak dipedulikan, mereka akan lebih sering berbohong sebagai cara untuk menarik perhatian atau membuat diri mereka tampak lebih istimewa.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah pola parenting yang tidak konsisten. Ketika lingkungan keluarga membentuk kebiasaan bahwa berbohong adalah cara untuk menghindari hukuman atau mengurangi ketegangan dalam keluarga, anak akan melihat kebohongan sebagai hal yang normal untuk bertahan hidup.
Dalam kondisi seperti ini, kebohongan dipandang bukan lagi sebagai kesalahan, tetapi menjadi cara untuk menjaga citra keluarga agar tetap terlihat “baik-baik saja.”
Tekanan dari luar keluarga pun bisa ikut memengaruhi. Dalam budaya atau masyarakat yang sangat menekankan pencapaian, kesuksesan, dan status sosial, seseorang bisa merasa terdorong untuk berbohong demi memenuhi harapan/ekspektasi tersebut.
Pencapaian, keterampilan, dan pengalaman yang mereka karang ditujukan untuk mendapat pengakuan serta kekaguman dari orang lain.