7 Sikap yang Harus Dihindari saat Berdebat dengan Remaja

Pengalaman hidup yang berbeda kerap kali menyebabkan perdebatan orangtua dan remaja

23 Oktober 2022

7 Sikap Harus Dihindari saat Berdebat Remaja
Pexels/RODNAE Productions

Tak dapat dimungkiri bahwa tidak ada orangtua dan remaja yang tak pernah berdebat. Sebab, pada dasarnya manusia memiliki perbedaan dalam banyak hal. Terlebih lagi orangtua dan anak yang memiliki pandangan serta pengalaman berbeda dalam hidup.

Bahkan, terkadang perdebatan kecil pun kerap berujung pada pertengkaran yang sulit selesai di waktu yang sama. Ujungnya, emosi justru lebih banyak berkuasa, hingga masalah yang sebenarnya sepele dan bisa diselesaikan dengan kepala dingin jadi terasa sulit diurai.

Kondisi ini tentu tak lepas dari sikap negatif yang masih dipertahankan saat memperdebatkan sesuatu. Lantas apa saja sikap yang harus dihindari saat berdebat dengan remaja?

Yuk simak daftarnya yang telah Popmama.com rangkum di bawah ini!

1. Merasa selalu ingin menang saat berdebat dengan anak

1. Merasa selalu ingin menang saat berdebat anak
Freepik/Bearfotos

Perdebatan seringkali terjadi akibat perbedaan pandangan yang diyakini akibat sebuah ketidaksepakatan hingga berujung pada pertengkaran.

Seringkali di posisi ini, orangtua terkadang selalu ingin merasa benar. Dengan pengalaman hidup yang lebih lama, terkadang membuat Mama ada "hasrat" untuk mempertahankan prinsip dan ingin menang dalam adu pendapat.

Namun, keinginan untuk menang ini justru berpotensi mendatangkan perasaan tidak nyaman pada remaja. Sebab, anak akan merasa tidak dihargai ketika terus disalahkan atas pendapatnya yang sebenarnya belum tentu salah.

Masalah utama yang seharusnya dicarikan solusi malah berujung pada konflik baru yang seharusnya tidak perlu terjadi.

2. Cenderung menyerang dan menyudutkan anak

2. Cenderung menyerang menyudutkan anak
Freepik/peoplecreations

Bukan rahasia umum lagi bahwa berdebat dengan remaja terkadang mampu memancing emosi-emosi negatif, sehingga membuat Mama jadi cenderung reaktif.

Bahkan, tak jarang ada naluri yang ikut terbawa dan memunculkan keinginan menyerang dan menyudutkan pendapat lawan bicara yang notabene adalah anak sendiri.

Jika hal ini mulai dirasakan, ada baiknya Mama mengambil jeda dan menepi sejenak untuk mencerna permasalah serta situasi yang sedang terjadi.

Bahayanya, ketika Mama terbawa emosi sesaat yang terkadang tidak tepat, ini justru berdampak pada kerenggangan hubungan Mama dan anak. Tentu Mama tidak mau hal ini terjadi, kan?

Editors' Pick

3. Enggan berusaha memahami kondisi anak

3. Enggan berusaha memahami kondisi anak
Freepik/our-team

Salah satu sikap yang membuat perdebatan berujung pada pertengkaran panjang adalah rasa enggan untuk memahami remaja.

Bagaimana kondisi saat itu, pola berpikir, dan cara anak merespons sesuatu, seharusnya tetap jadi pertimbangan penting saat sedang melakukan diskusi.

Dalam perdebatan yang memanas ini, pengendalian ego jadi kunci utama agar mampu meredam konflik dan mencari solusi terbaik.

Alih-alih mengedepankan ego pribadi, ada baiknya Mama juga mulai mencoba memahami alasan, latar belakang, dan cara anak dalam memproses masalah.

Karena tak menutup kemungkinan, kesalahan yang anak alami justru karena ketidaktahuannya dalam mengelola sebuah situasi.

4. Penuh curiga sehingga tidak mau mendengar penjelasan anak

4. Penuh curiga sehingga tidak mau mendengar penjelasan anak
Freepik/user15160105

Masalah yang terjadi di antara orangtua dan anak, terkadang tak lepas dari kurangnya keterbukaan komunikasi hingga berujung pada rasa curiga pada banyak hal.

Kecurigaan inilah yang kemudian berpotensi memperkeruh perdebatan kecil dan masalah malah jadi makin melebar. Rasa curiga akan menutup hati dan pikiran Mama untuk menerima sebuah penjelasan.

Inilah mengapa penting bagi Mama untuk mau duduk dan mendengar apa alasan anak. Jangan biarkan pikiran negatif menguasai diri sehingga tuduhan-tuduhan tak beralasan menjadi lebih sering muncul.

5. Menunjukkan keputusasaan

5. Menunjukkan keputusasaan
Pexels/Karolina Grabowska

Sangat sulit untuk menyelesaikan konflik jika Mama memberi kesan pada anak bahwa mencapai kesepakatan bersama hanyalah omong kosong.

Jika anak merasa bahwa Mama tidak memiliki harapan dalam menyelesaikan konflik, maka konflik tersebut akan menjadi lebih besar dan menemukan titik temu akan semakin sulit.

Meski ini mungkin melelahkan dan butuh banyak diskusi kedepannya, Mama tak boleh putus asa dengan cara harus membuka pintu optimisme dan percaya pada solusi akhir.

6. Memaksakan masalah selesai secara sepihak

6. Memaksakan masalah selesai secara sepihak
Freepik/karlyukav

Jika Mama berpikir bahwa Mama telah berhasil memadamkan api dan melupakan situasi, sebenarnya Mama telah menyangkal bahwa masalah dapat muncul lagi, seperti yang sering terjadi.

Memaksakan masalah selesai secara sepihak atau mempertimbangkan masalah ditutup tanpa ada solusi, juga bukan menjadi cara yang baik dalam mengajarkan anak menyelesaikan masalah. 

Penting bagi Mama untuk melakukan diskusi dengan kepala dingin bersama anak. Ini memastikan bahwa solusinya adalah yang paling tepat untuk semua orang dan untuk mencegah masalah tetap ada.

5. Gengsi untuk menyatakan kesalahan dan meminta maaf terlebih dahulu

5. Gengsi menyatakan kesalahan meminta maaf terlebih dahulu
Freepik/valuavitaly

Perlu diingat bahwa orangtua adalah manusia, begitu juga anak. Maka sebagai manusia, Mama juga tak luput dari kesalahan, bukan?

Selama ini Mama mungkin mengajarkan anak untuk meminta maaf bila ia melakukan kesalahan. Tapi apakah Mama mencontohkan hal yang sama pada anak?

Ujung dari sebuah perdebatan seharusnya mengarah pada sikap saling menerima dan memaafkan, terlebih lagi bila ada luapan emosi yang sempat muncul.

Sayangnya, terkadang gengsi orangtua yang terlalu besar untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf lebih dulu pada remaja. Yup, dampak dari gengsi ini bisa cukup toxic karena keharmonisan hubungan keluarga akan jadi taruhannya.

Gengsi ini juga bisa menyebabkan jarak di antara orangtua dan anak, sehingga keakraban yang seharusnya dibangun dan dijaga terus-menerus, seolah jadi terasa dingin dan sulit dicairkan kembali.

Kini Mama telah mengetahui sikap yang harus dihindari saat berdebat dengan remaja. Sebenarnya, berdebat dengan anak cukup wajar dan lumrah terjadi. Namun, jangan sampai sering muncul konflik baru akibat terlalu banyak dipengaruhi emosi dan ego.

Cara Mama menyelesaikan pertengkaran, juga bisa menjadi contoh positif untuk anak bagaimana cara menyelesaikan masalah dengan bijaksana tanpa harus ada pihak yang tersakiti.

Baca juga:

The Latest