Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu adalah seorang sahabat Rasulullah SAW yang kisah hidupnya penting untuk diketahui dan diteladani oleh seluruh kaum muslimin. Beliau termasuk salah satu sahabat mulia yang menjadi sepuluh orang yang dijanjikan surga. Sa’ad adalah pejuang tangguh yang ikut berjihad bersama Rasulullah SAW di seluruh peperangan yang diikuti beliau, dan juga dikenal sebagai pahlawan dalam pertempuran Qadisiyyah.
Sa’ad lahir di Makkah dan memiliki keturunan yang mulia. Ayahnya bernama Abu Waqash Malik bin Uhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah, dari Bani Zuhrah. Selain itu, Sa’ad bin Abi Waqash juga merupakan paman dari Rasulullah SAW dari jalur ibu. Rasulullah SAW mencintai dan membanggakan Sa’ad sebagai pamannya. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu:
“Dahulu kami duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datanglah Sa’ad bin Abi Waqash, maka Rasulullah bersabda, ‘Ini adalah pamanku, maka siapa yang mau mengabarkan padaku pamannya.’” (HR. Al-Hakim dalam Mustadrak)
Sejak muda, Sa’ad sudah menunjukkan kematangan seorang dewasa dan kebijaksanaan seorang yang lebih tua. Di usia yang masih muda, ia tidak senang dengan keadaan masyarakat jahiliah yang penuh kegelapan dan hatinya merindukan sosok yang bisa menuntun manusia keluar dari kegelapan tersebut. Pemuda lain mungkin menghabiskan waktunya untuk bermain, tetapi Sa’ad lebih banyak menghabiskan waktu untuk merawat busur, menajamkan anak panah, dan berlatih memanah, seakan-akan mempersiapkan dirinya untuk sesuatu yang besar.
Ketika Rasulullah SAW diutus, hidayah Allah masuk ke dalam hati Sa’ad bin Abi Waqash sehingga ia masuk Islam. Proses masuk Islam Sa’ad tidak berjalan mulus, karena ibunya menentang keislamannya dan berusaha memaksanya meninggalkan agama Islam. Bagi seorang pemuda yang berbakti kepada orang tua, cobaan ini sangat berat. Ibunya mengancam untuk tidak memberi makan dan minum sampai Sa’ad meninggalkan Islam, bahkan jika beliau meninggal, ia akan dianggap sebagai pembunuh ibunya.
Melihat ibunya yang lemah karena tidak makan dan minum, Sa’ad menjawab:
“Wahai ibunda! Ketahuilah, demi Allah, jika Anda memiliki seratus nyawa dan keluar nyawa tersebut satu per satu, tidak akan aku tinggalkan agamaku. Jika engkau mau, makanlah atau jangan makan.” Setelah melihat keteguhan Sa’ad, ibunya pun akhirnya makan. (HR. Muslim)
Cobaan ini kemudian diabadikan Allah dalam Al-Qur’an, Surah Al-Ankabut ayat 8:
“Kami telah mewasiatkan (kepada) manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Jika keduanya memaksamu mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu tentangnya, janganlah engkau patuhi mereka. Hanya kepada-Ku kalian kembali, lalu Aku akan memberitahukan apa yang telah kalian kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 8)