Stop Normalisasi Bullying Sebagai 'Bercandaan Anak'

Warganet sedang heboh karena sebuah kasus pembullyan yang dilakukan oleh 'geng tai' di sekolah Binus

22 Februari 2024

Stop Normalisasi Bullying Sebagai 'Bercandaan Anak'
x.com/Geng Tai Binus

Belakangan ini, warganet sedang heboh karena sebuah kasus pembullyan yang dilakukan oleh sekelompok remaja yang menyebut diri mereka sebagai Geng Tai. Kasus pembullyan tersebut terjadi disekolah Binus yang berada di kawasan Tangerang Selatan. Aksi pembulyan yang dilakukan oleh geng tersebut menarik banyak perhatian karena anggota-anggota dari geng tersebut merupakan anak-anak dari orang ternama atau memiliki jabatan penting. 

Berkaca dari kasus tersebut, fenomena pembullyan atau perundungan telah menjadi masalah yang meresahkan. Tidak lagi terbatas pada lingkup sekolah atau tempat kerja, pembullyan sebenarnya juga telah merambah ke ranah daring dan dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari banyak individu. 

Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah normalisasi pembullyan di masyarakat kita khususnya anak-anak. Saat pembullyan dianggap sebagai "biasa" atau "bahan bercandaan" tiap orangtua maupun anak-anaknya harus sama-sama menghilangkan stigma normalisasi terhadap pembullyan tersebut.

Kali ini Popmama.com akan memberikan informasi seputar stop normalisasi bullying sebagai 'bercandaan anak'. Simak informasinya di bawah ini.

Editors' Pick

1. Dampak pembullyan sangat buruk

1. Dampak pembullyan sangat buruk
Freepik

Pembullyan pada anak dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, mulai dari pelecehan verbal dan intimidasi, hingga kekerasan fisik dan perundungan daring. Yang perlu diingat adalah bahwa setiap bentuk pembullyan memiliki dampak yang serius pada kesejahteraan emosional dan psikologis korban.

Anak-anak yang menjadi target pembullyan sering mengalami penurunan harga diri, kecemasan, depresi, dan masalah perilaku lainnya. Selain korban, pelaku pembullyan juga dapat mengalami konsekuensi negatif dalam jangka panjang. Seperti kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal yang sehat, serta kemungkinan terlibat dalam perilaku kriminal di masa dewasa.

2. Stop menormalisasi pembullyan

2. Stop menormalisasi pembullyan
Freepik/pikisuperstar

Praktisi Talents Mapping & Paediatric Hypnotherapist lulusan Universitas Indonesia Aninda mengatakan, hal yang perlu diperhatikan adalah jangan menormalisasi perilaku anak yang mengarah ke bullying. Tidak jarang orangtua kerap menempatkan perilaku kasus bullying dengan sentilan 'hanya bercandaan anak'. Padahal, hal ini jelas menjadi bibit mereka untuk menganggap kekerasan adalah hal wajar dan terus dilakukan sampai usia dewasa.

"'Hanya bercandaan anak' jelas hanya akan memberikan legitimasi bagi anak untuk menormalisasikan bullying tersebut. Begitupun, "Nggak apa-apa namanya juga anak laki!', atau 'Biar mentalnya kuat, nggak mental tempe!'. Membentuk mentalitas sebenarnya tidak ada hubungannya dengan bullying," tegas Aninda.

Aninda juga meminta orangtua selalu memposisikan diri kepada korban bullying. Meski berat mengetahui anak menjadi pelaku, perlu disadari bukan tidak mungkin perilaku anak di rumah dengan di luar rumah berbanding terbalik. Karenanya, lebih baik menghindari perasaan penyangkalan.

"Kemungkinan ini bisa saja terjadi. Sehingga perlu adanya nilai moral dan cara pandang objektif dalam menilai permasalahan ini," sebut Aninda.

3. Pemicu anak melakukan bullying

3. Pemicu anak melakukan bullying
Freepik

Setiap orangtua memiliki tanggung jawab untuk menjadi contoh yang baik bagi anak-anak dalam perilaku dan interaksi kita sehari-hari. Kami harus aktif mengajarkan nilai-nilai seperti empati, penghargaan, dan toleransi kepada mereka, baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Hal ini mencakup mendidik mereka tentang pentingnya menghormati perbedaan, berbicara dengan sopan, dan menyelesaikan konflik secara damai.

Aninda mengatakan bahwa hal-hal tersebut sangat berpengaruh untuk menjadi pemicu anak melakukan pembullyan.

"Penanaman nilai moral yang mungkin kurang selain empati, nilai moral meliputi kemampuan membedakan benar-salah, kemampuan memiliki kendali sebelum bertindak, menghargai orang lain, kebaikan, toleransi, dan keadilan," jelasnya.

Hubungan antara orangtua dan anak yang mungkin tidak terlalu dekat juga bisa menjadi penyebab mereka melakukan bullying atau penindasan akibat kurangnya perhatian di lingkup keluarga. Di sisi lain, paparan negatif atau efek pergaulan di lingkup sosial, maupun di media sosial, hingga efek film juga tidak bisa dihindari.

Itulah informasi seputar stop normalisasi bullying sebagai 'bercandaan anak'. Menghentikan normalisasi pembullyan pada anak bukanlah tugas yang mudah, tetapi sangat penting untuk kesejahteraan dan perkembangan mereka.

Dengan membangun kesadaran tentang dampak negatif dari pembullyan, mengajarkan nilai-nilai kesopanan dan empati, serta menciptakan lingkungan yang mendukung, orangtua dapat membantu membentuk generasi masa depan yang menghargai, toleran, dan penuh kasih. Ini adalah investasi penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih baik dan lebih aman bagi semua anak-anak.

Baca juga:

The Latest