Dampak Kekerasan pada Anak Bisa Membuat Stres hingga Gangguan Otak

Jerren Lim memberikan pandangan terkait teori stress physiology yang menjelaskan mekanisme biologis pada seseorang yang mengalami ketegangan (stres). Stres erat kaitannya dengan meningkatnya cortisol hormone pada pathway yang disebut HPA axis atau Hypothalamus Pituitary Adrenal axis.

Nah, hypothalamus (hipotalamus) merupakan kelenjar di otak yang menghasilkan hormon untuk mengontrol fungsi organ dan sel dalam tubuh. Fungsi utama hipotalamus adalah memastikan dan menjaga supaya sistem tubuh berjalan stabil.

Hipotalamus menghasilkan hormon pituitari untuk mengeluarkan adrenocorticotropic hormone (ACTH). ACTH kemudian berpindah melalui aliran darah menuju ke kelenjar adrenal pada ginjal. Imbasnya ginjal turut menghasilkan cortisol hormon secara drastis. Hormon ini kembali ke otak menuju hippocampus.

Akibatnya terjadi penurunan glucocorticoid receptor (GR) secara drastis. Hubungan antara peningkatan drastis cortisol hormone dan penurunan GR yang memengaruhi tingkat stres.

Pada penelitian yang dilakukan oleh McGill University di Kanada, para ilmuwan mengumpulkan 36 hippocampus dari orang yang meninggal akibat bunuh diri (bundir). Jumlah tersebut dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

• Kategori 1: Dua belas orang bunuh diri karena sejarah kekerasan di saat anak-anak,
• Kategori 2: Dua belas orang bunuh diri tidak mengalami kekerasan di masa kecil,
• Kategori 3: Dua belas orang lainnya tidak meninggal karena bunuh diri (control).

Hasil riset tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan GR total secara signifikan secara statistik di otak mereka antara kategori 1 dan 3.

Sedangkan, para kategori 2 (orang bunuh diri yang mempunyai pengalam kekerasan di masa kecil) justru mempunyai GR total di hippocampus yang jauh lebih sedikit. Hal ini sejalan dengan teori stress physiology.

Jerren Lim memaparkan pula penjelasan mekanisme biologis yang terjadi pada manusia. Di dalam tubuh terdapat gen Nr3c1 yang fungsinya menyintesis glucocorticoid receptor (GR). Gen atau DNA juga mempunyai bagian promoter, yakni tempat menempelnya transcription factor.

Untuk gen Nr3c1, nama promotornya adalah promoter 17. Sementara, transcription factor adalah senyawa protein yang fungsinya untuk memulai proses transkripsi (penyalinan kode-kode DNA) untuk menyintesis GR.  Nama transcription factor untuk gen Nr3c1 adalah NGFIA.

Namun, ketika si Kecil mengalami kekerasan menyebabkan promoter 17 mengalami proses methylation, yaitu proses menempelnya gugus methyl pada promoter tersebut. Kondisi ini mengakibatkan NGFIA tidak dapat masuk dan menempel ke promoter 17 pada gen Nr3c1. Alhasil, GR tidak dapat disintesis.

Untuk meningkatkan GR total, maka anak korban kekerasan perlu mendapatkan bantuan dari profesional, seperti psikolog klinis maupun psikiater. Mereka juga akan membantu mengurangi dampak negatif akibat pengalaman buruk tersebut.

Mengingat, stres yang berkepanjangan akan menyebabkan masalah mental. Melansir Cleveland Clinic, ketegangan mampu mengakibatkan kecemasan (anxiety), depresi, serangan panik (panic attack), hingga rasa sedih yang berlebihan.

Itulah ulasan mengenai dampak kekerasan pada anak berakibat stres hingga mengubah otak. Jerren Lim juga mengingatkan apabila kita melihat atau mengetahui ada tindak kekerasan pada anak baik secara fisik maupun psikis agar segera melapor ke pihak berwajib. Stres mengakibatkan gangguan pada hipotalamus di otak yang berimbas terhambatnya aktivitas sehari-hari.