Banyak yang mengira bahwa screentime mampu membantu anak cepat menguasai bahasa, termasuk bahasa asing.
Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Ketika anak terlalu lama menonton, mereka justru kehilangan kesempatan untuk mendapatkan stimulasi bahasa yang lebih efektif, yaitu melalui interaksi langsung.
“Ada transfer deficit, yaitu kesulitan anak dalam menerapkan pengetahuan baru yang didapat dari media digital ke dalam kehidupan nyata. Dengan kata lain, anak akan lebih mudah dan cepat memahami bahasa jika belajar langsung dari orang lain, bukan dari layar,” lanjut dr. Farid
Selain itu, screentime juga dapat mengurangi interaksi antara anak dan pengasuh. Ketika gadget diambil atau dibatasi, anak melakukan penolakan, rewel, merasa lebih tertarik pada gadget dibandingkan berkomunikasi dengan orang di sekitarnya. Hal ini justru dapat menghambat perkembangan kemampuan bahasanya.
Lalu, bagaimana dengan program edukasi yang memang dirancang untuk mendukung perkembangan linguistik anak? Beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Kaiser Family Foundation, Gilkerson dalam Journal of Pediatrics, dan Hudo TM dalam Infant Behavior and Development tahun 2013, menunjukkan bahwa konten edukatif mungkin memiliki manfaat.
Namun, hasilnya bervariasi tergantung pada jenis konten yang ditonton, sehingga tidak bisa disimpulkan secara umum. Konten edukasi yang baik adalah konten yang interaktif, mendorong anak untuk merespons secara verbal, bukan sekadar menonton secara pasif.
Yang tidak kalah penting adalah pendampingan dari orangtua. Ini menjadi faktor protektif yang bisa membantu mengurangi dampak negatif screentime.
Meski begitu, pendampingan tidak boleh sekadar simbolis dilakukan. Orangtua harus benar-benar hadir dan aktif, lebih dari 50% keterlibatan selama anak menonton. Hindari membiarkan anak menggunakan gadget sendirian (solitary gadget use), karena ini justru memperkecil peran pengasuhan dan mengurangi manfaat yang mungkin bisa diperoleh dari konten tersebut.