Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
Penelitian: Konsumsi Kental Manis pada Balita Masih Tinggi
Freepik/azerbaijan_stockers

Intinya sih...

  • 83% balita di Pamijahan, Kabupaten Bogor, terdampak konsumsi kental manis.

  • Penelitian dilakukan oleh tiga universitas sejak 2018.

  • Mayoritas balita mengonsumsi kental manis lebih dari satu kali per hari.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sebanyak 83% balita di Pamijahan, Kabupaten Bogor, tercatat terdampak konsumsi kental manis berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan dalam webinar Diskusi Publik dan Bedah Buku YAICI, Rabu (26/11).

Temuan tersebut disampaikan peneliti dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Negeri Semarang, dan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta dalam kegiatan yang digelar secara daring melalui Zoom.

Berikut Popmama.com bagikan penelitian ungkap konsumsi kental manis pada balita masih tinggi. Yuk, disimak!

Gambaran Umum Penelitian

Freepik

Penelitian mengenai konsumsi kental manis pada balita ini merupakan kolaborasi Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama tiga universitas, yakni Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Universitas Negeri Semarang (UNNES), dan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta (UNISA). Penelitian dilakukan sejak 2018 dan kemudian dibukukan untuk menyediakan rujukan yang lebih sistematis bagi tenaga kesehatan, orang tua, pendidik, serta pemangku kebijakan.

Dalam pemaparannya, ketiga tim peneliti menjelaskan bahwa konsumsi kental manis masih tinggi di berbagai daerah dan kerap dipersepsikan sebagai susu. Riset dilakukan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif, termasuk survei, wawancara mendalam, hingga focus group discussion untuk menggali pola konsumsi, faktor budaya, serta dampaknya terhadap kesehatan balita.

Temuan Penelitian Prof. Tria Astika (UMJ) di Pamijahan, Bogor

Freepik/azerbaijan_stockers

Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, menunjukkan tingginya konsumsi kental manis pada balita. Sebanyak 100% ibu responden tercatat memberikan kental manis kepada anak, dan 95% balita mulai mengonsumsinya sejak usia delapan bulan ke atas. Mayoritas balita juga mengonsumsi kental manis lebih dari satu kali per hari, dengan frekuensi harian mencapai 63%.

Riset ini menemukan bahwa 64% ibu masih menganggap kental manis sebagai susu, sementara pemahaman mengenai kandungan gula dan risiko kesehatan dinilai masih rendah. Kondisi ini berdampak pada status gizi balita di wilayah tersebut, dengan temuan stunting sebesar 41,8%, underweight 33,3%, serta 83% balita tercatat terdampak konsumsi kental manis.

Tim peneliti menjelaskan bahwa pola konsumsi tersebut berkaitan dengan faktor sosial budaya masyarakat Sunda, termasuk keterbatasan ekonomi, kuatnya kebiasaan keluarga, serta minimnya edukasi gizi yang diterima orang tua. Faktor-faktor tersebut membuat kental manis dipersepsikan sebagai alternatif susu yang terjangkau dan mudah diakses.

Temuan Penelitian Dr. Mardiana (UNNES) di Semarang

Freepik

Penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sekaran dan Bandarharjo, Kota Semarang, menunjukkan bahwa konsumsi kental manis pada balita masih tinggi. Sebanyak 35,8% anak tercatat telah diberikan kental manis sebelum usia 12 bulan, sementara 41,2% di antaranya mengonsumsi kental manis tiga kali atau lebih dalam satu hari.

Alasan pemberian kental manis didominasi faktor ekonomi dan kemudahan akses. Sebanyak 23,7% ibu memilih kental manis karena harganya terjangkau, sedangkan 45,19% menyebut alasan lain, termasuk permintaan anak, pengaruh lingkungan sekitar, serta ketersediaan produk yang mudah dijumpai di warung sekitar tempat tinggal.

Riset ini juga menemukan adanya hubungan antara pendidikan ibu dan frekuensi konsumsi kental manis. Ibu dengan tingkat pendidikan lebih rendah tercatat lebih sering memberikan kental manis kepada balita (p = 0,028). Konsumsi yang tinggi tersebut berdampak pada kesehatan anak, dengan temuan 34% balita mengalami karies, 21% mengalami diare, dan 14% mengalami gigi berlubang.

Temuan Penelitian Dr. Warsiti (UNISA) di Yogyakarta

Freepik/azerbaijan_stockers

Penelitian yang dilakukan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi kental manis pada balita di wilayah pedesaan masih tinggi. Sebagian besar anak mengonsumsi kental manis satu hingga tiga kali sehari (60,87%), dan beberapa bahkan tercatat mengonsumsinya hingga enam kali per hari.

Faktor ekonomi menjadi alasan paling dominan dalam pemberian kental manis, dengan 47,02% responden memilih produk tersebut karena harganya lebih terjangkau dibandingkan sumber gizi lain. Selain itu, kebiasaan keluarga, pengaruh lingkungan, dan ketersediaan produk di warung desa turut memperkuat pola konsumsi ini. Kental manis dianggap praktis dan menjadi pilihan ketika stok susu habis, sehingga tetap diberikan meskipun kandungan gulanya tinggi.

Peneliti mencatat bahwa preferensi rasa manis yang terbentuk sejak dini membuat anak cenderung sulit menerima makanan lain yang lebih sehat. Wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah juga menunjukkan bahwa kental manis telah menjadi bagian dari tradisi keluarga, termasuk sebagai produk yang sering dibawa saat menjenguk anak atau kerabat yang sakit.

Analisis Lintas Peneliti Tentang Konsumsi Kental Manis pada Anak

Freepik

Ketiga penelitian yang dipaparkan menunjukkan pola temuan yang serupa terkait konsumsi kental manis pada balita. Miskonsepsi bahwa kental manis merupakan susu masih ditemukan di berbagai daerah, terutama pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih rendah. Keterbatasan akses informasi gizi, kuatnya pengaruh iklan, serta dominasi informasi dari media massa turut memperkuat persepsi tersebut.

Para peneliti juga menyoroti bahwa konsumsi kental manis kerap dipengaruhi faktor ekonomi, budaya, dan kebiasaan keluarga. Di wilayah pedesaan, kental manis lebih mudah diperoleh dibandingkan produk susu lainnya, serta dianggap praktis dan terjangkau. Hal ini menyebabkan produk tersebut tetap diberikan meskipun kandungan gulanya tinggi dan nilai gizinya rendah.

Secara keseluruhan, ketiga penelitian menegaskan adanya hubungan antara konsumsi kental manis yang tinggi dan kondisi kesehatan balita, termasuk stunting, masalah gizi, serta gangguan kesehatan seperti karies dan diare. Temuan ini menunjukkan perlunya edukasi gizi yang lebih kuat serta intervensi berbasis komunitas agar persepsi dan pola konsumsi dapat berubah secara berkelanjutan.

Penelitian ini diharapkan menjadi rujukan bagi penguatan edukasi gizi dan perbaikan pola konsumsi masyarakat, terutama terkait konsumsi kental manis pada balita sebagaimana disampaikan dalam penelitian ungkap konsumsi kental manis pada balita masih tinggi.

Editorial Team