Pexels/RDNE Stock Project
Menurut National Down Syndrome Society (NDSS), down syndrome pertama kali dikenali pada tahun 1866 oleh seorang dokter asal Inggris bernama John Langdon Down.
Ia berperan dalam membedakan kondisi ini dari disabilitas mental lainnya dan menjadi orang pertama yang memberi istilah untuk menggambarkan individu dengan down syndrome, yaitu "mongoloid". Istilah tersebut muncul karena Down menganggap anak-anak dengan kondisi ini memiliki kemiripan ciri fisik dengan ras Mongol.
Seiring waktu, penggunaan istilah tersebut dianggap tidak pantas dan menyinggung. Sekelompok ahli genetika kemudian mengusulkan empat istilah alternatif melalui jurnal medis Inggris The Lancet, dan salah satu istilah yang diajukan "Down syndrome", karena syndrome itu pertama kali ditemukan oleh Down, akhirnya diterima secara luas.
Istilah ini kemudian disahkan oleh World Health Organization (WHO) dan mulai digunakan secara resmi pada tahun 1965.
Pada masa awal ditemukannya down syndrome, praktik umum yang dilakukan adalah menempatkan anak-anak dengan kondisi ini di panti atau lembaga perawatan khusus. Biasanya, mereka dipisahkan dari keluarganya tak lama setelah lahir.
Sayangnya, kondisi di institusi-institusi tersebut sangat buruk dan anak-anak tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai, terutama untuk masalah jantung, penglihatan, atau gangguan sistem pencernaan.
Akibatnya, banyak anak dengan Down syndrome yang meninggal pada masa bayi atau awal masa dewasa.
Kemajuan besar terjadi pada tahun 1959, ketika seorang ilmuwan bernama Jérôme Lejeune menemukan bahwa down syndrome disebabkan oleh kromosom tambahan.
Penemuan ini menjadi tonggak penting, karena setelah itu, para peneliti mulai mengembangkan studi kromosom untuk membantu tenaga medis dalam mendiagnosis down syndrome secara akurat.
Pada tahun 1960, salah satu organisasi lokal pertama yang mendukung individu dengan down syndrome didirikan oleh seorang mama bernama Kay McGee, setelah putrinya Tricia didiagnosis dengan kondisi ini.
Berbeda dari kebiasaan umum saat itu, Kay dan suaminya, Marty, memilih untuk tidak menitipkan Tricia ke institusi.
Sebaliknya, mereka mulai menjangkau orangtua lain yang memiliki anak dengan down syndrome. Langkah ini menjadi awal berdirinya organisasi National Association for Down Syndrome (NADS).